Produksi hidrogen hijau berbasis panas bumi merupakan salah satu opsi strategis dalam mendukung target Net Zero Emission (NZE) 2060 di Indonesia. Dengan proyeksi permintaan global mencapai 520 juta ton pada 2050, pengembangan hidrogen menjadi semakin penting dalam transisi energi bersih, khususnya di wilayah timur Indonesia yang memiliki potensi panas bumi tinggi namun permintaan energi rendah. Penelitian ini bertujuan menentukan harga jual minimum hidrogen agar proyek terintegrasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP)–Green Hydrogen Plant (GHP) tetap layak secara finansial.
Studi ini menggunakan pendekatan kuantitatif berbasis simulasi teknis dan ekonomi dengan data sekunder pada WKP Songa Wayaua, Maluku Utara. Dua skenario dianalisis: skenario pertama sebesar 2×5 MW sesuai RUPTL 2025-2034 untuk meninjau kembali kelayakan proyek, dan skenario kedua sebesar 1×20 MW yang direncanakan beroperasi pada 2030. Pada skenario kedua, kapasitas dibagi masing-masing 10 MW untuk jaringan listrik dan produksi hidrogen melalui elektrolisis Proton Exchange Membrane (PEM).
Skenario pertama menghasilkan Net Present Value (NPV) sebesar -31,82 juta USD, menunjukkan proyek belum layak secara finansial. Pada skenario kedua, penjualan listrik ke jaringan menghasilkan NPV -78,4 juta USD, sementara produksi hidrogen menghasilkan 1.410 ton/tahun dengan Levelized Cost of Hydrogen (LCOH) sebesar 6,6 USD/kg. Proyek terintegrasi PLTP-GHP mencapai NPV = 0 dengan Internal Rate of Return (IRR) 8,57% pada harga jual minimum hidrogen 13 USD/kg, dan IRR ? 12% pada harga 18 USD/kg. Temuan ini menegaskan bahwa harga jual hidrogen merupakan faktor kunci keberlanjutan proyek.
Perpustakaan Digital ITB