Partikulat halus dengan ukuran kurang dari 2,5 ?m (PM2.5) merupakan parameter
penting dalam studi kesehatan lingkungan karena berkaitan erat dengan risiko
gangguan kesehatan pernapasan dan kardiovaskular. Kota Bandung sebagai kota
dengan kepadatan penduduk tinggi menghadapi keterbatasan fasilitas pemantauan
kualitas udara. Penggunaan pemantauan bergerak berbasis sensor berbiaya rendah
dapat menjadi solusi alternatif dalam menekan biaya stasiun pemantauan dan
memungkinkan pemantuan spasial beresolusi tinggi. Pemantauan PM2.5 dilakukan
di enam kecamatan prioritas dengan metode pemantauan bergerak. Data hasil
pengukuran diproses menggunakan kisi 200 × 200 m untuk mengidentifikasi zona
pencemaran tinggi, Analisis korelasi dengan faktor meteorologi dilakukan
menggunakan uji Spearman, sedangkan dosis inhalasi diestimasi dengan berat
badan dan laju inhalasi masing-masing kelompok usia. Hasil penelitian
menunjukkan konsentrasi PM2.5 cenderung meningkat pada pagi (06.00–08.00) dan
malam (19.00–21.00), dengan nilai puncak mencapai 53,0 ?g/m³. Zona pencemaran
tinggi teridentifikasi di Kecamatan Cicendo dan Bandung Kulon, khususnya pada
ruas Jalan Cigondewah Kaler, Jalan Raya Cijerah, Jalan Jenderal Haji Amir
Machmud, dan Jalan Garuda. Penurunan temperatur udara pada malam hari
berkontribusi terhadap peningkatan konsentrasi PM2.5. Estimasi dosis inhalasi
tertinggi ditemukan di Kecamatan Regol, sebesar 2,15 µg/kg/hari pada bayi dengan
usia 0-5 bulan. Paparan tertinggi terjadi pada pagi dan malam hari, dengan bayi dan
anak-anak sebagai kelompok usia paling rentan.
Perpustakaan Digital ITB