Kualitas jalur pejalan kaki merupakan aspek fundamental dalam mewujudkan kota yang inklusif, aman, dan berkelanjutan. Infrastruktur pedestrian yang dirancang dengan baik tidak hanya memfasilitasi pergerakan, tetapi juga meningkatkan kesehatan bagi masyarakat, keberlanjutan lingkungan, dan kualitas hidup perkotaan secara keseluruhan. Jalur pejalan kaki yang nyaman, aman, dan menarik mampu mendorong masyarakat untuk mau berjalan kaki, mengurangi ketergantungan pada kendaraan bermotor, menurunkan emisi karbon, dan memperkuat interaksi sosial. Namun, di banyak kawasan perkotaan, kualitas fasilitas ini seringkali dinilai rendah akibat minimnya kenyamanan visual, keterbatasan vegetasi peneduh, tingginya kepadatan visual dari lalu lintas dan aktivitas tepi jalan, serta proporsi ruang pedestrian yang tidak memadai. Kondisi ini berdampak pada rendahnya visual walkability yang mengurangi daya tarik dan fungsi jaringan pedestrian di perkotaan.
Penelitian ini melakukan evaluasi terhadap visual walkability dengan memanfaatkan teknologi machine learning. Empat indikator utama yang digunakan untuk menilai kualitas visual dan spasial pada penelitian ini yaitu psychological greenery (tingkat kehijauan visual), visual crowdedness (tingkat kepadatan visual dari lalu lintas dan aktivitas manusia), outdoor enclosure (tingkat keterlingkupan ruang oleh elemen vertikal seperti bangunan dan vegetasi), serta visual pavement (proporsi jalur pedestrian terhadap total area perkerasan). Pendekatan ini memanfaatkan segmentasi semantik menggunakan model DeepLab 2 yang dilatih dengan dataset COCO, sehingga memungkinkan untuk melakukan pengukuran elemen fisik streetscape secara objektif dan berskala besar, sekaligus mengatasi keterbatasan metode observasi manual yang rentan subjektivitas, human error dan memerlukan waktu cukup lama.
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggabungkan analisis kuantitatif terhadap citra jalan menggunakan data yang berasal dari Google Street View dan interpretasi kualitatif berbasis pengamatan lapangan atau observasi. Citra jalan dianalisis untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan elemen visual sesuai indikator, menghasilkan skor Indeks Visual Walkability (IVW) untuk setiap segmen. Segmen yang memiliki skor rendah diprioritaskan sebagai area intervensi desain, sedangkan pengamatan lapangan dilakukan untuk memahami konteks seperti hambatan fisik, pola parkir dan ketersediaan amenitas dengan ruang pedestrian.
Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa koridor perkotaan dengan tingkat greenery yang rendah, crowdedness tinggi, enclosure yang tidak proporsional, dan intrusi kendaraan yang berarti kendaraan bermotor menggunakan atau memasuki area yang seharusnya khusus untuk pejalan kaki pada area pedestrian memiliki visual walkability yang dinilai buruk. Berdasarkan analisis, penelitian ini merumuskan 13 strategi desain untuk meningkatkan visual walkability, salah satu strategi yang dihasilkan dalam penelitian ini diantaranya adalah penambahan vegetasi, penyediaan amenitas atau street furniture, pengaturan ulang ruang atau koridor jalan untuk meminimalkan konflik antara pejalan kaki dan kendaraan, serta pengelolaan aktivitas ekonomi informal di ruang publik.
Kontribusi penelitian ini bersifat teoretis dan praktis. Secara teoretis, penelitian ini mengembangkan metode evaluasi visual walkability berbasis teknologi yang mengintegrasikan machine learning dengan analisis desain perkotaan, sehingga menghasilkan penilaian yang cukup objektif, efisien, dan dapat direplikasi. Secara praktis, hasil penelitian ini memberikan panduan berbasis bukti yang dapat digunakan oleh pembuat kebijakan, perencana kota, dan praktisi desain dalam merumuskan intervensi fisik untuk menciptakan kota yang lebih ramah terhadap pejalan kaki, berkelanjutan, dan juga inklusif. Pendekatan ini relevan untuk diterapkan di berbagai konteks perkotaan, sehingga memiliki potensi untuk memperkuat kualitas ruang publik khusunya ruang bagi pejalan kaki di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.
Perpustakaan Digital ITB