Inhibitor pompa proton (PPI) merupakan obat yang banyak diresepkan secara
global, namun berpotensi menimbulkan efek samping serius (pneumonia, patah
tulang, gagal ginjal) pada populasi tertentu dan beban biaya yang tinggi. Selain itu,
penggunaan PPI secara tidak rasional dilaporkan mencapai 40-80%. Penelitian ini
menganalisis prevalensi ketidaktepatan peresepan PPI, mengidentifikasi faktorfaktor yang secara independen berhubungan dengan ketidaktepatan peresepan dan
estimasi implikasi biayanya di suatu rumah sakit swasta Bandung. Metode
menggunakan desain observasional retrospektif dengan sampel 384 rekam medis
pasien rawat inap periode Januari–Desember 2024. Kesesuaian resep dinilai
berdasarkan pedoman ACG dan NICE mencakup indikasi, dosis, dan durasi.
Analisis statistik meliputi uji chi-square/Fisher exact dan regresi logistik
multivariat. Hasil menunjukkan prevalensi ketidaktepatan resep PPI saat rawat inap
mencapai 51,6% (198/384 pasien), terutama untuk gejala gastrointestinal (62,1%)
dan profilaksis ulkus pada pasien risiko rendah (33,3%). Saat pulang, 44,6%
(112/251) resep tetap tidak sesuai. Diagnosis penyakit paru meningkatkan risiko
ketidaktepatan (OR: 2,873; 95% CI: 1,425–5,792; p=0,003), sedangkan
penggunaan bersamaan antiplatelet (OR: 0,071; 95% CI: 0,016–0,314; p<0,001)
dan diagnosis gastrointestinal (OR: 0,526; 95% CI: 0,329–0,841; p=0,007) bersifat
protektif. Estimasi biaya tahunan untuk resep tidak tepat mencapai Rp566.814.564
(48,5% dari total biaya PPI Rp1.168.743.144), dengan beban tertinggi saat pulang
(Rp77.276.400; 70,4% dari biaya fase pulang). Simpulan: Ketidaktepatan resep PPI
secara klinis memiliki prevalensi yang tinggi (lebih dari 50%) dan berdampak
ekonomi yang signifikan, yaitu mencakup 48,5% dari total biaya PPI. Intervensi
berbasis bukti seperti audit resep rutin, deprescribing terstruktur, dan penguatan
kebijakan klinis direkomendasikan untuk optimasi penggunaan.
Perpustakaan Digital ITB