Dalam dekade terakhir, agenda pembangunan infrastruktur yang ambisius di
Indonesia—tercermin dari kenaikan alokasi APBN serta program konektivitas,
ketenagalistrikan, dan TIK—memacu pertumbuhan ekonomi sekaligus
meningkatkan kebutuhan jasa konstruksi. Dari sisi pelaku, Badan Pusat Statistik
mencatat 197 030 perusahaan kontraktor pada 2022, dengan dominasi 75,34 %
kualifikasi kecil dan 13,74 % kualifikasi menengah. Meski jumlahnya besar,
kontribusi kedua segmen ini pada pangsa pasar konstruksi hanya sekitar 15 %, jauh
tertinggal dari kontraktor besar. Ketimpangan tersebut antara lain disebabkan oleh
keterbatasan sumber daya, struktur manajemen yang belum matang, dan ketiadaan
sistem pengukuran kinerja formal yang dapat memandu peningkatan mutu,
produktivitas, dan daya saing perusahaan. Kebanyakan kontraktor kecil dan
menengah masih menilai kinerja secara intuitif atau sebatas indikator keuangan
sederhana. Hal ini berisiko mempersulit adaptasi terhadap dinamika industri
konstruksi yang kian kompetitif dan terdigitalisasi.
Sistem Balanced Scorecard (BSC) secara teoritis menawarkan kerangka holistik
yang menyeimbangkan perspektif finansial dan non?finansial, sehingga cocok bagi
organisasi profit?oriented yang perlu menerjemahkan visi ke dalam sasaran dan
indikator terukur. Namun, penelitian maupun penerapan BSC spesifik pada
kontraktor kualifikasi kecil dan menengah di Indonesia masih minim. Kajian yang
ada lazimnya berfokus pada perusahaan besar atau sektor lain—seperti manufaktur,
penerbangan, dan agribisnis—sementara studi di Korea Selatan (D. Kim dkk.,
2021) yang menyoroti kontraktor kecil belum pernah direplikasi dalam konteks
Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan memetakan kondisi aktual
penerapan sistem pengukuran kinerja pada kontraktor kualifikasi kecil dan
menengah, serta menyusun sistem pengukuran kinerja berbasis BSC yang
terstruktur, aplikatif, serta selaras dengan karakteristik industri konstruksi nasional.
Penelitian menggunakan tiga metode pengumpulan data. Pertama, kuesioner
kondisi aktual menggali informasi mengenai keberadaan sistem pengukuran,
metode yang dipakai, serta persepsi penting?tidaknya sistem formal. Kedua,
kuesioner Analytical Hierarchy Process (AHP) menilai prioritas indikator kinerja
dalam empat perspektif BSC—finansial, pelanggan, proses bisnis internal, serta
pembelajaran & pertumbuhan. Ketiga, kajian pustaka mengidentifikasi praktik
ii
terbaik dan panduan implementasi sistem bagi perusahaan kecil?menengah.
Responden berjumlah 34 orang (direktur, manajer, project manager, dan pemilik)
yang mewakili 29 perusahaan kontraktor kualifikasi kecil dan menengah di wilayah
Jabodebek dan Bandung; mereka dipilih karena terlibat langsung dalam eksekusi
proyek dan pengelolaan kinerja.
Analisis dilaksanakan secara bertahap. Analisis deskriptif memaparkan sejauh
mana kontraktor kualifikasi kecil dan menengah telah menerapkan pengukuran
kinerja dan mengungkap kesenjangan praktik. Triangulasi literatur, hasil kuesioner,
dan wawancara validasi menghasilkan objective umum kinerja kontraktor
kualifikasi kecil dan menengah. Pembobotan indikator menggunakan AHP
menetapkan prioritas relatif, sedangkan tahap akhir merancang panduan teknis
berisi tujuan, 15 indikator kinerja utama, bobot prioritas lokal dan global, metode
pengumpulan data, target, frekuensi evaluasi, serta format pengukuran dalam
aplikasi Excel.
Hasil survei menunjukkan 79,3 % kontraktor responden belum memiliki sistem
pengukuran kinerja formal; sisanya menerapkan key performance indicator
sederhana. Meski demikian, seluruh responden mengakui urgensi sistem terstruktur
untuk meningkatkan mutu dan daya saing. Proses AHP menegaskan bahwa
indikator finansial—seperti return on equity dan kekayaan bersih—tetap krusial,
tetapi indikator non?finansial (ketepatan waktu proyek, retensi pelanggan, dan
produktivitas karyawan) menempati bobot tinggi karena dianggap berdampak
langsung pada keberlanjutan kontraktor. Rancangan sistem diverifikasi melalui
wawancara semi?terstruktur dengan dua narasumber berpengalaman; keduanya
menilai konsep BSC layak diterapkan. Perusahaan kualifikasi menengah relatif siap
dari sisi data dan sumber daya, sedangkan perusahaan kecil membutuhkan
pendampingan, pelatihan, serta fitur aplikasi yang lebih sederhana agar adopsi
berjalan mulus.
Implikasi praktis penelitian ini mencakup: (a) tersedianya prototipe sistem BSC
berbasis Excel yang siap pakai, (b) peta kesiapan implementasi sebagai dasar desain
kebijakan pelatihan atau insentif, dan (c) kontribusi akademik berupa model BSC
kontekstual bagi kontraktor kualifikasi kecil dan menengah, mengisi celah riset di
Indonesia. Rekomendasi lanjutan meliputi cascading indikator ke level unit kerja,
validasi luas melalui focus group discussion dan studi kasus implementasi,
pengembangan platform pencatatan data terintegrasi, serta penetapan tolok ukur
kinerja spesifik sektor kontraktor kualifikasi kecil dan menengah. Kesimpulannya,
penelitian membuktikan bahwa penerapan Balanced Scorecard dapat menjadi
strategi efektif untuk memperkuat pengukuran kinerja kontraktor kualifikasi kecil
dan menengah. Sistem yang disusun tidak hanya membantu perusahaan menilai
kinerja secara holistik dan berbasis data, tetapi juga menyediakan landasan bagi
pengambilan keputusan strategis guna meningkatkan produktivitas, mutu, dan daya
saing di tengah persaingan industri konstruksi nasional yang semakin ketat.
Perpustakaan Digital ITB