Bangunan berkinerja tinggi dipercaya dapat menjadi salah satu solusi efektif untuk
mengatasi permasalahan emisi karbon dan keterbatasan sumber energi tidak
terbarukan di dunia. Oleh karenanya, penelitian dengan topik terkait kinerja bangunan
berkembang secara signifikan beberapa tahun terakhir. Berdasarkan hasil
pemetaan studi bangunan berkinerja tinggi yang dilakukan beberapa tahun terakhir,
bangunan objek yang digunakan dalam penelitian pada umumnya terletak
pada lokasi dengan profil iklim subtropis atau dingin (tipe iklim K¨oppen C dan D).
Mengingat negara berkembang yang pada umumnya terletak di sabuk iklim tropis
diprediksi mengalami peningkatan jumlah bangunan dan kebutuhan energi yang
cukup signifikan di masa mendatang, kajian terkait bangunan berkinerja tinggi
pada iklim tropis menjadi penting untuk dilakukan.
Meskipun kebutuhan akan bangunan berkinerja tinggi di daerah tropis cukup
genting guna mengurangi emisi karbon di masa mendatang, pengembangan dan
implementasi bangunan berkinerja tinggi di beberapa daerah dengan profil iklim
tropis belum begitu signifikan, terlebih di Indonesia. Salah satu penyebabnya
adalah karena belum banyaknya referensi dan keterbatasan sumber daya untuk
melakukan analisis dan perancangan bangunan berdasarkan kinerja. Sebagai
langkah awal untuk mengembangkan penelitian dan mendorong implementasi
bangunan berkinerja tinggi di Indonesia, studi terkait strategi desain pasif perlu
dilakukan mengingat peningkatan kinerja bangunan akan efektif jika bangunan
mengimplementasikan strategi desain pasif dengan maksimal.
Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian dilakukan melalui dua tahap yaitu
investigasi kinerja bangunan dan optimisasi strategi desain pasif berdasarkan data
iklim historis untuk beberapa kota di Indonesia dengan profil iklim yang berbeda,
dan pengujian ketahanan desain dan formulasi perancangan bangunan berkinerja
tinggi dengan mempertimbangkan kondisi iklim di masa depan. Adapun kota
yang diobservasi meliputi Jakarta (Am, 3A), Bandung (Am, 2A), Surabaya (Aw, 4B)
dan Ibu Kota Nusantara (IKN) (Af, 1A). Secara umum, kedua tahapan penelitian
tersebut dilakukan dengan melibatkan beberapa metode penelitian yaitu studi
parametrik, analisis sensitivitas, pengembangan model pengganti, optimisasi strategi
desain pasif, serta analisis ketahanan strategi desain terhadap ketidakpastian
kondisi iklim di masa depan.
iii
Hasil analisis sensitivitas menunjukkan bahwaWindow-to-Wall Ratio (WWR) merupakan
faktor utama dalam desain pasif yang memiliki pengaruh signifikan terhadap
sebagian besar metrik kinerja bangunan yang diamati di seluruh kota yang
diuji. WWR memiliki korelasi positif dengan metrik kinerja energi dan ketersediaan
pencahayaan alami, namun berkorelasi negatif dengan metrik kenyamanan
termal. Selain WWR, infiltrasi udara, yang merupakan aliran udara yang tidak
terkendali melalui celah-celah bangunan juga merupakan faktor desain pasif lain
yang memberikan pengaruh signifikan terhadap aspek efisiensi energi dan
kenyamanan termal.
Hasil optimisasi desain pasif menggunakan model pengganti untuk bangunan
kantor tipikal dengan tapak persegi menunjukkan bahwa untuk memperoleh
desain yang optimal, rentang nilai WWR yang direkomendasikan adalah sekitar
0,29–0,31 dengan nilai median 0,30 untuk Jakarta, 0,31 untuk Bandung, 0,24–0,31
dengan nilai median 0,245 untuk Surabaya, serta 0,24–0,26 dengan nilai median
0,24 untuk IKN. Sementara itu, nilai infiltrasi udara yang direkomendasikan berada
dalam kisaran 0,6–1,7 ACH dengan nilai median 0,95 ACH untuk Jakarta, 1,9 ACH
untuk Bandung, 0,6–1,9 ACH dengan nilai median 0,95 ACH untuk Surabaya, dan
0,5–1,9 ACH dengan nilai median 1,4 ACH untuk IKN.
Dalam menghadapi ketidakpastian kondisi iklim di masa depan, rekomendasi
nilai WWR untuk Jakarta dan Surabaya mengalami perubahan dibandingkan dengan
rekomendasi berbasis profil iklim historis. Di Jakarta, rentang nilai WWR
yang direkomendasikan bergeser menjadi 0,24–0,31 dengan nilai median 0,275,
sementara di Surabaya rentang tersebut menyempit menjadi 0,24–0,26. Selain
itu, rekomendasi nilai infiltrasi udara juga mengalami penyesuaian. Di Jakarta,
rentang infiltrasi udara menyempit menjadi 0,6–1,0 ACH dengan nilai median
0,65 ACH, sedangkan di Surabaya, rentangnya menjadi 0,6–1,0 ACH dengan nilai
median 0,7 ACH. Sebaliknya, tidak terdapat perubahan yang signifikan dalam
rekomendasi faktor desain utama untuk Bandung dan IKN. Pergeseran nilai WWR
dan infiltrasi udara di Jakarta dan Surabaya dapat dikaitkan dengan peningkatan
rata-rata temperatur udara serta Radiasi Global Horizontal (GHR) di masa depan
yang cukup signifikan di kedua kota tersebut.
Penelitian ini memberikan kontribusi dalam memperkaya referensi perancangan
strategi desain pasif yang optimal dan tahan terhadap ketidakpastian iklim,
khususnya untuk bangunan kantor di Indonesia. Identifikasi faktor desain pasif
utama yang dihasilkan dari penelitian ini dapat menjadi pedoman bagi perancang
bangunan dalam mengoptimalkan strategi desain pasif guna meningkatkan
kinerja bangunan kantor. Selain itu, rekomendasi nilai parameter desain yang
dirumuskan dalam penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk pengembangan bangunan
berkinerja tinggi yang mampu menghadapi ketidakpastian kondisi iklim
di masa depan, terutama dalam aspek efisiensi energi, kenyamanan termal, dan
ketersediaan pencahayaan alami. Model pengganti yang dikembangkan dalam
penelitian ini juga memberikan kemudahan bagi perancang bangunan dalam
mengetahui kinerja banguanan kantor di beberapa kota yang berbeda, dengan
tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Secara keseluruhan,
temuan penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan strategis dalam merencanakan
strategi desain pasif yang lebih efisien, berkelanjutan, dan tahan terhadap
perubahan iklim, serta mendorong implementasi bangunan berkinerja tinggi di
Indonesia.
Perpustakaan Digital ITB