digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Bendungan Meninting merupakan salah satu infrastruktur strategis yang dibangun untuk mendukung pengelolaan sumber daya air di wilayah selatan Pulau Lombok. Fungsi utama bendungan ini adalah untuk memperkuat sektor agraria melalui penyediaan air irigasi, serta mendukung kebutuhan air baku bagi wilayah sekitarnya. Namun, secara geografis, Bendungan Meninting berada dalam kedekatan langsung dengan kawasan berpenduduk padat seperti Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat. Kedekatan ini menjadikan potensi risiko yang sangat tinggi apabila terjadi kegagalan struktur bendungan, baik secara teknis maupun hidrologis. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis potensi bahaya banjir dan estimasi kerugian ekonomi akibat dua skenario utama kegagalan bendungan, yaitu rembesan internal (piping) dan limpasan air berlebih (overtopping). Setiap skenario dianalisis dalam dua skema waktu keruntuhan: (a) keruntuhan pada saat muka air banjir, dan (b) keruntuhan pada saat debit puncak banjir. Untuk mendapatkan representasi aliran yang akurat, digunakan pendekatan pemodelan genangan dua dimensi (2D) melalui perangkat lunak HEC-RAS versi 6.6. Waduk dimodelkan sebagai 2D flow area, yang memungkinkan pemodelan aliran tak tunak secara rinci selama kejadian keruntuhan bendungan. Hasil simulasi menunjukkan bahwa skenario kegagalan akibat piping cenderung menghasilkan luasan genangan yang lebih sempit dan durasi aliran yang lebih pendek dibandingkan dengan skenario overtopping. Hal ini berdampak langsung pada besarnya nilai kerugian ekonomi yang ditimbulkan. Analisis risiko moneter menunjukkan bahwa kerugian dari skenario piping setara dengan 0.35% hingga 0.8% dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor pertanian dalam skema (a), dan sebesar 0.28% hingga 0.74% pada skema (b). Sebaliknya, kerugian dari skenario overtopping jauh lebih signifikan, dengan estimasi mencapai 8.80% hingga 24.2% dari PDRB sektor bisnis dalam skema (a), dan antara 8.3% hingga 23.33% pada skema (b), khususnya di wilayah Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat. Jika dikonversi terhadap waktu ekonomi, kerugian akibat skenario overtopping setara dengan sekitar dua minggu nilai PDRB tahunan sektor bisnis dan empat bulan PDRB tahunan sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa dampak ekonomi yang ditimbulkan tidak hanya besar dalam nilai absolut, tetapi juga signifikan terhadap kelangsungan ekonomi lokal dalam jangka pendek. Selain itu, dalam skema (a), ditemukan bahwa hubungan antara periode ulang banjir dan kerugian ekonomi sektor bisnis bersifat non-monotonik. Artinya, kenaikan periode ulang banjir tidak selalu sejalan dengan kenaikan atau penurunan kerugian. Ketidakteraturan ini terutama disebabkan oleh tiga faktor utama: (1) sebaran spasial aktivitas sektor bisnis yang tidak merata, (2) karakteristik topografi wilayah studi yang kompleks, dan (3) perbedaan waktu tunda (lag time) antara puncak debit banjir dan saat muka air mencapai ambang keruntuhan bendungan. Temuan ini mempertegas pentingnya mempertimbangkan pendekatan spasial dan temporal dalam analisis risiko kegagalan bendungan. Penggunaan pemodelan dua dimensi terbukti mampu memberikan gambaran lebih realistis terhadap pola genangan dan distribusi kerugian. Hasil studi ini diharapkan dapat menjadi dasar dalam penyusunan strategi mitigasi bencana bendungan dan perencanaan tata ruang berbasis risiko di wilayah terdampak.