digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Kejadian gempa Mw 7,5 yang diikuti oleh rangkaian gempa susulan Mw 6,4; Mw 6,3 dan Mw 6,1 yang terjadi dalam kurun waktu 25 menit pada tanggal 28 September 2018 di Kota Palu, Sulawesi Tengah, telah menimbulkan dampak kerusakan dan kerugian yang signifikan. Selain kerusakan akibat guncangan gempa, dua bahaya ikutan berupa tsunami dan likuefaksi telah memperparah dampak kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan. Likuefaksi merupakan fenomena alam yang umum terjadi sesaat setelah gempa dengan magnitudo moment (Mw) lebih dari skala 6. Namun, likuefaksi yang terjadi di Palu merupakan fenomena yang unik dan menarik untuk dipelajari. Keunikan likuefaksi yg terjadi di tiga lokasi yaitu Balaroa, Petobo dan Jono Oge, dimana ketiga kota tersebut berjauhan namun akibat gempa utama dan gempa susulan menyebabkan terjadinya flow likuefaksi yang masif. Penelitian ini dilakukan untuk menginvestigasi terjadinya likuefaksi yang masif di Balaroa, Petobo, dan Jono Oge dengan menggunakan metode Horizontal to Vertical Spectral Ratio (HVSR), MultiChannel Analysis of Surface Waves (MASW), dan Spatial Auto Corelation (SPAC) dengan total titik pengukuran secara berurutan masing-masing 150, 40, dan 40 lokasi. Hasil analisis HVSR menunjukkan nilai periode dominan yang tinggi di kota Palu dapat diinterpretasikan sebagai wilayah rawan bahaya gempa. Analisis MASW menunjukkan bahwa nilai Vs30 di wilayah Balaroa berkisar antara 153 m/s sampai dengan 522,57 m/s, wilayah Petobo berkisar antara 154,32 m/s sampai dengan 464,06 m/s, dan di wilayah Jono Oge berkisar antara 207,2 m/s sampai dengan 343,68 m/s. Sedangkan, hasil analisis SPAC menunjukkan bahwa wilayah Balaroa memiliki lapisan bedrock pada kedalaman 90 m sampai dengan 339.20 m, wilayah Petobo berkisar antara 125,71 m sampai dengan 411,33 m, dan wilayah Jono Oge berkisar antara 100 sampai dengan 166,70 m. Analisis likuefaksi menggunakan data Vs30 di wilayah Balaroa, Petobo, dan Jono Oge menunjukkan nilai Factor of Safety (FS) < 1 dan nilai Liquefaction Potential Index (LPI) yang tinggi berasosiasi dengan zona yang memiliki nilai Vs30 rendah hingga sedang (sedimen tebal). Berdasarkan mekanismenya, likuefaksi yang terjadi di tiga wilayah tersebut merupakan likuefaksi longsoran fluida campuran tanah berpasir dan air atau flowslide. Flowslide likuifaksi terjadi karena litologi bawah permukaan di ketiga wilayah tersebut, memiliki kemiringan terrain morfologi dan adanya lapisan penutup (capping layer) yang memerangkap tanah berpasir yang mencair dan mencegahnya mencapai permukaan. Turunnya kohesi tanah akibat naiknya tekanan pori (pore pressure) yang dipicu getaran gempa kuat menyebabkan terjadinya flowslide likuefaksi yang masif. Penelitian ini menghasilkan informasi rinci struktur lapisan bawah permukaan yang berkaitan dengan kriteria terjadinya likuefaksi dan pola mekanisme flowslide likuefaksi. Oleh karena itu, secara keilmuan hasil penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman mengenai fenomena dan potensi flowslide likuefaksi di ketiga wilayah tersebut. Pemahaman tentang potensi flowslide likuefaksi bermanfaat untuk kerekayasaan dalam upaya penyusunan program mitigasi dan pengurangan risiko bencana, seismic hazard, dan tata ruang di Kota Palu dan sekitarnya.