digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Bangunan struktur tingkat tinggi pada dasarnya akan mengalami kerusakan akibat fenomena alam ataupun buatan. Kerusakan akibat fenomena alam diakibatkan adanya bencana alam seperti gempa dan kerusakan akibat fenomena buatan seperti ledakan, kebakaran, adanya aktivitas terorisme. Fenomena buatan yang terjadi sering kali tidak dapat diprediksi kapan datangnya dan perlu dilakukan perencanaan yang tepat dalam menghindari kegagalan bangunan secara tiba-tiba. Kegagalan struktur bangunan akibat fenomena buatan terjadi karena adanya kegagalan terlebih dahulu pada elemen struktur yang dapat memicu keruntuhan progresif. Keruntuhan progresif merupakan kondisi dimana suatu elemen bangunan struktur mengalami kegagalan dan berlanjut pada elemen lainnya yang akan mengakibatkan keruntuhan total atau sebagian dari struktur tersebut. Keruntuhan biasanya dimulai dari elemen struktur yang berada dalam kondisi kritis yang kemudian akan memicu kegagalan elemen lainnya secara berurutan, sehingga seluruh struktur tidak lagi mampu menahan beban yang diberikan. Keruntuhan progresif yang diketahui salah satunya adalah kasus keruntuhan gedung World Trade Center (WTC) yang terjadi New York pada tahun 2001 lalu. Keruntuhan pada gedung WTC ini dikarenakan adanya tabrakan pesawat yang memicu kebakaran besar dan mengakibatkan elemen struktural baja pada bangunan tersebut dalam kondisi kritis akibat suhu tinggi. Proses keruntuhan dimulai dengan adanya kerusakan lokal pada elemen struktur yang kemudian menyebar ke seluruh struktur dan akhirnya kedua struktur bangunan mengalami keruntuhan total dalam waktu yang cepat. Pada penelitian ini dilakukan studi terkait keruntuhan progresif pada bangunan bertingkat dengan sistem rangka baja konsentris. Pemodelan struktur dimodelkan menggunakan software ETABS dengan bangunan bertingkat 10 lantai. Pengecekan awal struktur memastikan bahwa struktur telah memenuhi kriteria kegempaan berdasarkan SNI 1726:2019. Pemodelan struktur akan dilakukan identifikasi penghilangan elemen sebanyak 5 (lima) kasus yang masing-masing kasus penghilangan berupa kolom, bresing atau keduanya. Identifikasi penghilangan elemen dari kasus 1 berupa penghilangan kolom gravitasi pada sudut gedung di lantai dasar, kasus 2 berupa penghilangan kolom gempa dan bresing di lantai dasar, kasus 3 berupa penghilangan kolom gempa dan dua bresing di lantai dasar, kasus 4 berupa penghilangan kolom interior di lantai dasar dan kasus 5 berupa penghilangan kolom gempa dan dua bresing di lantai 5. Masing-masing kasus identifikasi penghilangan elemen akan dianalisis bagaimana respon struktur terhadap penghilangan elemen melalui dua prosedur pendekatan yaitu Linear Static Procedure (LSP) dan Nonlinear Static Procedure (NSP) berdasarkan GSA guidline. Pendekatan LSP dilakukan untuk mengamati nilai dari Demand-Capacity Ratio pada elemen terdekat dengan kasus penghilangan kolom / bresing. Pendekatan LSP dinilai lebih konservatif karena mampu mengindikasi awal untuk kegagalan elemen yang memicu keruntuhan progresif. Pendekatan NSP dilakukan menggunakan metode Pushdown Analysis dengan peningkatan beban yang ditentukan terlebih dahulu. Setiap peningkatan beban diamati bagaimana perubahan respon struktur dan pembentukan sendi plastis elemen pada kasus penghilangan kolom / bresing. Hasil penelitian menunjukan bahwa kasus 1 dan 2 dan memiliki indikasi keruntuhan progresif dengan adanya kegagalan pada elemen balok dan bresing. Sementara pada kasus 3, 4, 5 mampu berdeformasi lebih besar pada kondisi inelastis dan tidak ada potensi keruntuhan progresif. Kegagalan pada kasus 1 dimulai dari kegagalan balok akibat lentur dan kegagalan kasus 2 dimulai dari kegagalan aksial / tekuk pada bresing. Potensi pola keruntuhan pada kasus 1 dan 2 menyebabkan keruntuhan section yang dimana keruntuhan diakibatkan adanya bagian struktur yang gagal namun keseluruhan struktur tetap berdiri meskipun ada risiko lebih lanjut.