Pemanasan global akibat aktivitas manusia (antropogenik) ditandai dengan adanya kenaikan
suhu udara ±1,1 °C terjadi dalam satu abad terakhir. Kenaikan suhu udara berdampak terhadap
kenaikan suhu permukaan laut (SPL) melalui interaksi laut-atmosfer. Salah satu fenomena
ekstrem akibat dari kenaikan SPL, yaitu marine heatwaves (MHWs). Studi dampak pemanasan
global terhadap karakteristik MHWs di berbagai belahan dunia sudah banyak dilaporkan dalam
beberapa tahun terakhir, sedangkan di perairan Indonesia masih terbatas. Sejauh informasi
yang didapatkan, penelitian tersebut dikaji tanpa meninjau perbedaan fase hangat dan dingin
Pacific Decadal Oscillation (PDO). Oleh sebab itu, tujuan dalam penelitian disertasi ini adalah
mengidentifikasi karakteristik (a.l. frekuensi, intensitas maksimum, dan durasi kejadian) dan
mekanisme MHWs di perairan Indonesia. Data utama yang digunakan dalam penelitian adalah
data Sea Surface Temperature dari National Oceanic and Atmospheric Administration
Optimum Interpolation Sea Surface Temperature. Selain itu digunakan pula data indeks PDO,
El Niño-Southern Oscillation (ENSO), dan Indian Ocean Dipole (IOD) sebagai variabilitas
iklim skala global untuk menyelidiki hubungannya dengan MHWs. Digunakan pula data
komponen net surface heat flux (a.l., shortwave radiation, longwave radiation, sensible heat
flux, dan latent heat flux), kecepatan arus, mixed layer depth, densitas, klorofil-a, dan kecepatan
angin untuk menginvestigasi lebih lanjut dinamika kejadian MHWs. Keseluruhan data selama
40 tahun (1982–2021) tersebut selanjutnya diidentifikasi berdasarkan fase hangat (1982–2007)
dan dingin (2008–2021) PDO menggunakan metode analisis statistik dan diolah dengan
perangkat lunak MATLAB.
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata frekuensi tertinggi (2–3 kali/tahun) dan intensitas
maksimum MHWs tertinggi (>1,5 °C) terjadi selama fase hangat PDO (El Niño-like).
Sebaliknya, durasi terpanjang MHWs (7–15 hari) di perairan Indonesia tercatat selama fase
dingin PDO (La Niña-like). Melalui analisis komposit, diperoleh frekuensi tertinggi (2,52
kali/tahun) dan intensitas maksimum MHWs tertinggi (1,54 °C) saat El Niño terjadi bersamaan
dengan positif IOD selama fase hangat PDO. Sebaliknya, durasi terpanjang MHWs (10,90 hari)
ditemukan saat La Niña terjadi bersamaan dengan negatif IOD selama fase dingin PDO. Selain
itu, penelitian ini juga menyoroti korelasi yang lebih kuat antara ENSO dan intensitas MHWs
di perairan Indonesia dibandingkan dengan IOD. ENSO berpengaruh terhadap pembentukan
MHWs dengan jeda waktu bervariasi antara 3–10 bulan untuk perairan barat dan tengah
Indonesia, sedangkan di perairan timur Indonesia memiliki jeda waktu lebih pendek antara 0–
2 bulan. Selain itu, analisis heat budget di lapisan percampuran permukaan menunjukkan
peranan signifikan dari adveksi yang berasosiasi dengan Arus Lintas Indonesia terhadap
pembentukan MHWs di selatan Jawa dengan nilai korelasi antara laju berubahan temperatur
dan adveksi horizontal 0,55. Sementara itu, di lima lokasi kajian lainnya menunjukkan adanya
peranan dominan dari net air-sea heat flux terhadap pemanasan dan kejadian MHWs. Di sisi
lain, kejadian MHWs memberikan dampak signifikan terhadap pelemahan intensitas upwelling
di selatan Jawa selama musim timur (Juni–Juli–Agustus) dari tahun 1998 hingga 2021. Selatan
Jawa bagian timur mengalami penekanan intensitas upwelling yang paling kuat akibat
pemanasan SST yang berkaitan dengan kejadian intens MHWs kuat di wilayah tersebut, disusul
oleh pelemahan intensitas upwelling di selatan Jawa bagian Tengah, dan penghambatan
intensitas upwelling yang paling rendah akibat dampak dari MHWs ditemukan di selatan Jawa
bagian barat.
Temuan ini menyoroti hubungan yang kompleks antara fenomena iklim dan karakteristik
MHWs. Oleh sebab itu, pemahaman yang utuh dan mendalam mengenai MHWs dan
mekanisme pembentukannya menjadi kebutuhan urgen untuk terus dikaji sebagai bagian dari
upaya mitigasi bencana MHWs di perairan Indonesia akibat dampak pemanasan global yang
masih terus berlangsung hingga saat ini.