digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Erlin Beliyana
PUBLIC Open In Flip Book Rita Nurainni, S.I.Pus

COVER Erlin Beliyana
PUBLIC Open In Flip Book Rita Nurainni, S.I.Pus

BAB 1 Erlin Beliyana
PUBLIC Open In Flip Book Rita Nurainni, S.I.Pus

BAB 2 Erlin Beliyana
PUBLIC Open In Flip Book Rita Nurainni, S.I.Pus

BAB 3 Erlin Beliyana
PUBLIC Open In Flip Book Rita Nurainni, S.I.Pus

BAB 4 Erlin Beliyana
PUBLIC Open In Flip Book Rita Nurainni, S.I.Pus

BAB 5 Erlin Beliyana
PUBLIC Open In Flip Book Rita Nurainni, S.I.Pus

PUSTAKA Erlin Beliyana
PUBLIC Open In Flip Book Rita Nurainni, S.I.Pus

LAMPIRAN Erlin Beliyana
PUBLIC Open In Flip Book Rita Nurainni, S.I.Pus

Pemanasan global akibat aktivitas manusia (antropogenik) ditandai dengan adanya kenaikan suhu udara ±1,1 °C terjadi dalam satu abad terakhir. Kenaikan suhu udara berdampak terhadap kenaikan suhu permukaan laut (SPL) melalui interaksi laut-atmosfer. Salah satu fenomena ekstrem akibat dari kenaikan SPL, yaitu marine heatwaves (MHWs). Studi dampak pemanasan global terhadap karakteristik MHWs di berbagai belahan dunia sudah banyak dilaporkan dalam beberapa tahun terakhir, sedangkan di perairan Indonesia masih terbatas. Sejauh informasi yang didapatkan, penelitian tersebut dikaji tanpa meninjau perbedaan fase hangat dan dingin Pacific Decadal Oscillation (PDO). Oleh sebab itu, tujuan dalam penelitian disertasi ini adalah mengidentifikasi karakteristik (a.l. frekuensi, intensitas maksimum, dan durasi kejadian) dan mekanisme MHWs di perairan Indonesia. Data utama yang digunakan dalam penelitian adalah data Sea Surface Temperature dari National Oceanic and Atmospheric Administration Optimum Interpolation Sea Surface Temperature. Selain itu digunakan pula data indeks PDO, El Niño-Southern Oscillation (ENSO), dan Indian Ocean Dipole (IOD) sebagai variabilitas iklim skala global untuk menyelidiki hubungannya dengan MHWs. Digunakan pula data komponen net surface heat flux (a.l., shortwave radiation, longwave radiation, sensible heat flux, dan latent heat flux), kecepatan arus, mixed layer depth, densitas, klorofil-a, dan kecepatan angin untuk menginvestigasi lebih lanjut dinamika kejadian MHWs. Keseluruhan data selama 40 tahun (1982–2021) tersebut selanjutnya diidentifikasi berdasarkan fase hangat (1982–2007) dan dingin (2008–2021) PDO menggunakan metode analisis statistik dan diolah dengan perangkat lunak MATLAB. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata frekuensi tertinggi (2–3 kali/tahun) dan intensitas maksimum MHWs tertinggi (>1,5 °C) terjadi selama fase hangat PDO (El Niño-like). Sebaliknya, durasi terpanjang MHWs (7–15 hari) di perairan Indonesia tercatat selama fase dingin PDO (La Niña-like). Melalui analisis komposit, diperoleh frekuensi tertinggi (2,52 kali/tahun) dan intensitas maksimum MHWs tertinggi (1,54 °C) saat El Niño terjadi bersamaan dengan positif IOD selama fase hangat PDO. Sebaliknya, durasi terpanjang MHWs (10,90 hari) ditemukan saat La Niña terjadi bersamaan dengan negatif IOD selama fase dingin PDO. Selain itu, penelitian ini juga menyoroti korelasi yang lebih kuat antara ENSO dan intensitas MHWs di perairan Indonesia dibandingkan dengan IOD. ENSO berpengaruh terhadap pembentukan MHWs dengan jeda waktu bervariasi antara 3–10 bulan untuk perairan barat dan tengah Indonesia, sedangkan di perairan timur Indonesia memiliki jeda waktu lebih pendek antara 0– 2 bulan. Selain itu, analisis heat budget di lapisan percampuran permukaan menunjukkan peranan signifikan dari adveksi yang berasosiasi dengan Arus Lintas Indonesia terhadap pembentukan MHWs di selatan Jawa dengan nilai korelasi antara laju berubahan temperatur dan adveksi horizontal 0,55. Sementara itu, di lima lokasi kajian lainnya menunjukkan adanya peranan dominan dari net air-sea heat flux terhadap pemanasan dan kejadian MHWs. Di sisi lain, kejadian MHWs memberikan dampak signifikan terhadap pelemahan intensitas upwelling di selatan Jawa selama musim timur (Juni–Juli–Agustus) dari tahun 1998 hingga 2021. Selatan Jawa bagian timur mengalami penekanan intensitas upwelling yang paling kuat akibat pemanasan SST yang berkaitan dengan kejadian intens MHWs kuat di wilayah tersebut, disusul oleh pelemahan intensitas upwelling di selatan Jawa bagian Tengah, dan penghambatan intensitas upwelling yang paling rendah akibat dampak dari MHWs ditemukan di selatan Jawa bagian barat. Temuan ini menyoroti hubungan yang kompleks antara fenomena iklim dan karakteristik MHWs. Oleh sebab itu, pemahaman yang utuh dan mendalam mengenai MHWs dan mekanisme pembentukannya menjadi kebutuhan urgen untuk terus dikaji sebagai bagian dari upaya mitigasi bencana MHWs di perairan Indonesia akibat dampak pemanasan global yang masih terus berlangsung hingga saat ini.