Secara fisiologi, terdapat beragam jenis tenunan yang dihasilkan oleh masyarakat
Sumba Timur dengan teknik, format hingga kegunaan yang berbeda-beda. Dari
beberapa diantara jenis tenunan tersebut, secara umum hanya terdapat 2 jenis
tenunan yang terdiri dari 2 helai kain atau lebih dalam tiap produknya, yaitu lau
(sarung wanita) dan hinggi (sampiran pria). Hinggi sendiri merupakan istilah dalam
bahasa Kambera yang merujuk pada kain sampiran berukuran panjang dan lebar
untuk dikenakan pria di Sumba Timur yang terdiri dari 2 helai kain dengan desain
identikal satu sama lain yang ditenun secara terpisah dan disambung menjadi satu
kain utuh menggunakan jahitan manual (uttu dalam bahasa Sumba) searah lungsi
untuk mencapai dimensi yang lebih lebar. Keunikan hinggi tidak hanya terletak
pada teknik pembuatan maupun motifnya saja, melainkan pada bagian detail seperti
jahitan uttu yang menyambungkan dua helai kain menjadi satu hinggi utuh.
Terdapat beragam jenis jahitan yang terdapat pada hinggi dengan desain dan teknik
yang berbeda-beda, namun hanya beberapa saja yang masih dipraktekkan hingga
saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam beragam teknik dan
pola jahitan di atas hinggi beserta makna filosofis di baliknya. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini berupa metode kualitatif dengan pendekatan analisis
konten dan wawancara untuk mencari makna di balik jahitan yang terdapat pada
kain berjenis hinggi. Hasil dari penelitian ini mencakupi penjelasan mengenai
proses kreatif di balik pewujudan pola jahitan tersebut, serta fungsi dan makna
filosofis jahitan uttu sebagai bagian dari hinggi secara utuh.