Ketidakpatuhan menjadi kekhawatiran utama dalam pengobatan pasien dengan penyakit kronis karena dapat menyebabkan perburukan penyakit, peningkatan pengeluaran biaya kesehatan, hingga kematian. Salah satu faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan adalah kurangnya komunikasi yang baik antara tenaga kesehatan dengan pasien, termasuk kurangnya empati. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi hubungan antara empati apoteker dengan kepatuhan minum obat pasien dengan penyakit kronis. Penelitian dilakukan di Puskesmas Ibrahim Adjie dan Puskesmas Pasundan Kota Bandung, serta Puskesmas Cimahi Tengah Kota Cimahi dari Desember 2023 sampai Mei 2024 dengan metode potong-lintang yang menggunakan kuesioner terstandar. Kuesioner yang digunakan adalah The Consultation and Relational Empathy Questionnaire (CARE) untuk mengukur empati yang dirasakan dan kuesioner MARS-5 untuk mengukur kepatuhan. Diperoleh 113 responden dengan rata-rata skor kuesioner CARE sebesar 33,018 ? 6,977 dan rata- rata skor kuesioner MARS-5 sebesar 22,566 ? 3,367. Kebanyakan pasien merupakan wanita berusia 55—74 tahun dengan penyakit hipertensi atau diabetes melitus. Uji Spearman’s correlation menemukan adanya korelasi positif yang signifikan antara empati yang dirasakan dengan kepatuhan minum obat (p = 0,022; r = 0,215). Tidak ada korelasi antara faktor sosiodemografi dengan kepatuhan minum obat. Namun, faktor usia (p = 0,006; r = -0,257), jumlah obat yang dikonsumsi (p = 0,038), dan pernah atau tidaknya pasien mendapatkan konseling (p = 0,015) mempengaruhi tingkat empati yang dirasakan oleh pasien. Kepatuhan minum obat pasien dengan penyakit kronis dipengaruhi oleh empati yang dilakukan apoteker ketika konseling. Sementara itu, empati yang dirasakan oleh pasien dipengaruhi oleh usia, jumlah obat yang dikonsumsi, serta jenis interaksi pasien dengan apoteker.