Indonesia kaya akan sumber daya bijih bauksit, dengan cadangan sekitar 1.000 juta metrik
ton, dan menduduki peringkat keenam secara global dalam hal cadangan bauksit dan
produksi bijih. Kelimpahan ini memberikan peluang bagus bagi negara ini untuk
memenuhi permintaan yang terus meningkat akan bahan pendukung katalis berkualitas
tinggi seperti gamma alumina. Namun sebagian besar alumina yang ditemukan di
Indonesia masih dalam bentuk gibbsit yang tidak dapat langsung diubah menjadi gamma
alumina. Oleh karena itu, gibsit yang diekstraksi dari bauksit harus melalui proses
transformasi menjadi kristal boehmit sebelum dapat disintesis menjadi gamma alumina.
Konversi gibsit menjadi boehmit berhasil dicapai melalui metode perlakuan hidrotermal.
Berbagai kondisi pengoperasian dieksplorasi untuk menentukan kondisi pengoperasian
optimal untuk memproduksi boehmit dengan kualitas yang sebanding dengan boehmit
komersial. Parameter yang diteliti meliputi waktu reaksi (3, 4, 5, dan 6 jam), suhu reaksi
(170, 180, 190, dan 200°C), konsentrasi HNO3 (3, 5, 7, dan 9 M), dan penambahan larutan
benih boehmit komersial (0,5, 1,0, 1,5, dan 2%). Gamma alumina dan boehmit hasil
sintesis menjalani karakterisasi menggunakan difraksi sinar-X untuk menentukan
kristalinitas dan posisi puncak. Selain itu, luas permukaan dan volume pori dianalisis
menggunakan metode penyerapan nitrogen.
Kondisi pengoperasian yang optimum, sehingga menghasilkan karakteristik boehmit
terbaik, adalah menggunakan larutan HNO3 5 M dengan biji boehmite 1%, yang
dioperasikan pada suhu 170°C selama 5 jam. Pada kondisi tersebut diperoleh rendemen
sebesar 91,62% dengan luas permukaan 241 m2/g dan volume pori 0,26 cm3/g. Sampel
optimal, C122, digunakan untuk mensintesis gamma alumina melalui metode sol-gel.
Sampel C122 berhasil berfungsi sebagai prekursor produksi gamma alumina. Gamma
alumina yang dihasilkan, diberi label GA-2, menunjukkan luas permukaan 181 m2/g dan
volume pori 0,29 cm3/g.