Pada April 2022, fenomena HAB pertama kali dilaporkan terjadi di Teluk Bima,
Nusa Tenggara Barat. Kejadian ini mengakibatkan kematian massal ikan dan
sebagian besar wilayah pesisir pantai Amahami tertutupi biomassa berbentuk gel
berwarna cokelat. Penelitian ini dilakukan untuk menilai dan memetakan risiko
ekologis kejadian HAB di lingkungan perairan Teluk Bima sebagai dasar
pengelolaan teluk yang berkelanjutan. Penentuan risiko ekologis didasarkan atas
dua skenario yaitu: 1) kerentanan teluk dan potensi kejadian HAB yang dikaitkan
dengan indeks beban pencemar (PLI) dan indeks kualitas air (IKA); dan 2) potensi
dampak ekologis akibat terjadinya HAB yang dikaitkan dengan struktur komunitas
fitoplankton. Hasil perhitungan PLI di semua stasiun bernilai > 1, yang artinya telah
terjadi peningkatan pencemaran lingkungan. Indeks pencemar (IP) pada sebelas
stasiun tergolong cemar sedang dan satu stasiun tergolong cemar ringan, dengan
IKA sebesar 31,67 atau masuk kategori kurang. Kelimpahan fitoplankton di Teluk
Bima berkisar antara 811 – 854.724 individu/liter. Lima spesies fitoplankton yang
paling dominan adalah Pseudo-nitzschia spp., Chaetoceros spp., Lauderia spp.,
Rhizosolenia spp., dan Chatonella spp. Tingkat Risiko HAB di Teluk Bima secara
spasial berdasarkan nilai IP dan proporsi spesies toksik paling tinggi secara
berurutan diperoleh di stasiun 2 (pantai Lewa Mori), 1 (area tambak Palibelo), dan
3 (pantai Bolo) dengan nilai IP sebesar 5,83, 5,60, dan 5,09 serta proporsi toksik
sebesar 0,41, 0,38, dan 0,3. Distribusi HAB cenderung akan terkonsentrasi di teluk
bagian dalam, khususnya di pesisir timur dan selatan. Adapun secara temporal,
berdasarkan hasil pencitraan indeks klorofil, potensi blooming fitoplankton relatif
lebih tinggi pada bulan-bulan musim penghujan