digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK_Jalu Luhung Lumaksono
Terbatas  Perpustakaan Prodi Arsitektur
» Gedung UPT Perpustakaan

Penetapan wilayah Baduy sebagai destinasi wisata telah mengganggu cara hidup tradisional dan keseimbangan alam yang mereka junjung tinggi. Pariwisata memang menawarkan manfaat ekonomi, tetapi memaksa masyarakat Baduy untuk memilih antara melestarikan budaya mereka atau beradaptasi dengan kebutuhan modern, yang mencerminkan perjuangan mereka untuk mempertahankan identitas sambil menghadapi masa depan yang tidak pasti antara tradisi dan perubahan. Suku Baduy, sebuah komunitas yang berhasil mempertahankan kebudayaannya, kini dihadapkan pada dilema dengan penetapan sebagai destinasi pariwisata berkelanjutan. Meskipun potensinya dalam meningkatkan ekonomi kreatif diakui, perbedaan persepsi antara masyarakat luar dan Baduy sendiri menimbulkan tantangan serius. Pengenalan desa sebagai tempat wisata dapat mengakibatkan transformasi kebudayaan yang bertentangan dengan prinsip masyarakat Baduy yang menolak modernisasi. Pelanggaran aturan adat oleh wisatawan, seperti penggunaan teknologi dan pembuangan sampah sembarangan, memicu ketidaknyamanan di kalangan Baduy. Di sisi lain, kebudayaan Baduy pun sudah mulai luntur akibat arus globalisasi. Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan regulasi yang tegas terkait pemberdayaan masyarakat Baduy dan wadah edukasi, seperti Visitor Center dan Cultural Center, yang fokus pada pelestarian dan pengenalan kebudayaan Baduy. Pendekatan ini diharapkan dapat menciptakan keseimbangan antara peningkatan ekonomi kreatif dan pelestarian kearifan lokal guna menjaga keharmonisan antara masyarakat Baduy, lingkungannya, dan wisatawan. Pariwisata di Desa Baduy, jika diatur dengan bijak, dapat menjadi kekuatan positif yang mempromosikan kebudayaan, lingkungan berkelanjutan, dan kesejahteraan masyarakat.