Timbal (Pb) sebagai logam berat beracun masih digunakan dalam proses produksi
cat di Indonesia sebagai pigmen, pengering maupun anti korosi dan beberapa
industri cat masih melebihi standar kandungan Pb dalam cat yang diatur dalam SNI
8011-2014. Hal tersebut berpotensi menjadi sumber utama pajanan timbal terhadap
pekerja industri cat melalui rute dermal pada saat proses produksi cat. Kadar timbal
dalam darah (PbB) sering digunakan sebagai biomarker pajanan timbal. Timbal
sebagai salah satu faktor eksogen dapat menyebabkan stres oksidatif akibat
terakumulasinya Reactive Oxygen Species (ROS) dan dapat menghambat enzim
pertahanan antioksidan. Ketidakseimbangan Reactive Oxygen Species (ROS) dan
pertahanan antioksidan tersebut dapat menyebabkan kerusakan DNA yang dapat
digunakan sebagai biomarker efek dari timbal. Sehingga perlu dilakukan investigasi
efek genotoksik timbal pada pekerja industri cat di Indonesia. Tujuan dari penelitian
ini untuk menganalisis risiko kesehatan pekerja industri cat terhadap pajanan Pb
melalui dermal, mengetahui hubungan pajanan Pb dengan kadar PbB, serta
mengetahui hubungan kadar PbB dengan kerusakan DNA melalui studi
epidemiologi cross-sectional terhadap 52 pekerja dari tiga industri cat di Indonesia.
Sampel pajanan Pb melalui rute dermal diukur berdasarkan NIOSH 7702 issue 1
menggunakan filter patch MCE pori 0,8 µm, Ø=47 mm yang ditempelkan pada
bagian tubuh yang terbuka selama 3 jam, sedangkan kandungan Pb di udara diukur
menggunakan LVAS (jenis filter PTFE 0,45 µm, Ø=47 mm, laju alir 2,5 LPM)
berdasarkan SNI 16-7058-2004 sebanyak 5 titik lokasi pengambilan sampel pada
setiap industri. Namun, limitasi dari penelitian ini setiap titik diukur selama 3 jam,
yang kemudian dianalisis menggunakan EDXRF. Sampel darah diambil sebanyak
6 mL untuk mengetahui kadar PbB yang dianalisis menggunakan ICP-MS dan
sebanyak 3 mL untuk menganalisis kerusakan DNA menggunakan metode Comet
Assay. Wawancara dilakukan untuk mengetahui karakteristik responden.
Kandungan Pb di dalam ruangan kerja sebesar 0,113±0,165 µg/m3
, dan tidak
melebihi standar dari Permenaker RI 5/2018. Namun, dosis yang diterima pekerja
melalui dermal sebesar 3,69x10-6 ± 8,13x10-6 mg/kg.hari dan menghasilkan risiko
non-karsinogenik (HQ>1) pada 1 pekerja di industri C, sehinga perlu dilakukan
manajemen risiko berupa eliminasi, substitusi, pengendalian teknis maupun
penggunaan APD. Sedangkan risiko karsinogenik (ELCR) masih dalam batas yang dapat diterima, yaitu sebesar 4,95x10-8±1,21x10-7mg/kg.hari. Kadar PbB diperoleh
sebesar 4,22 ± 1,6 µg/dL, dan sebanyak 17 pekerja melebihi batas aman (5 µg/dL).
Sebanyak 1 pekerja masing-masing dari industri A dan industri B, sedangkan
sebanyak 15 pekerja (88,24%) diperoleh dari industri C. Pajanan Pb melalui rute
dermal secara signifikan berkorelasi positif dengan kadar PbB (p=0,04; r=0,39).
Faktor yang mempengaruhi kadar PbB adalah lama kerja dan konsumsi alkohol
(p<0,05). Sedangkan kadar PbB berkorelasi negatif dengan Tail DNA (%) (r=-
0,049) dan Tail Length (µm) (r=-0,047), serta berkorelasi positif dengan Tail
moment (µm) (r=0,159), namun tidak signifikan (p>0,05). Nilai Tail DNA (%) pada
pekerja diperoleh 9,62±0,19%, seluruh pekerja diklasifikasikan sebagai kerusakan
DNA rendah (Kelas 2). Pajanan Pb dalam penelitian ini belum mencapai tingkat
yang secara signifikan dapat menyebabkan kerusakan DNA. Namun, monitoring
kadar timbal dalam darah terhadap pekerja perlu dilakukan karena adanya indikasi
peningkatan nilai Tail moment (µm) akibat pajanan Pb melalui dermal