Museum menjadi sarana dan prasarana mengomunikasikan sejarah masa lalu dan mengembangkan
kemasa depan. Museum pada dasarnya menjalankan dua fungsi besar, yaitu sebagai tempat
pelestarian budaya baik tangible maupun intangible, dan sebagai sumber informasi budaya.
Sehingga fungsi sebagai layanan edukasi tidak dapat dipisahkan dari sebuah institusi baik museum
yang dikelola pemerintah dan swasta. Permasalahan yang timbul di museum yang dikelola
pemerintah, swasta dan perhelatan seni di Indonesia diberbagai negara adalah apresiasi terhadap
karya seni, kurangnya program edukasi publik dalam mensosialisasikan bagaimana mengapresiasi
karya yang baik. Banyak apresiator merespon secara berlebihan pada saat mengapresiasikan karya
seni.
Hal ini menimbulkan kegelisahan sehingga Galeri Nasional Indonesia membuat program edukasi
publik yang bernama “Menjadi Apresiator Seni Terhebat” berawal dari tahun 2015 sampai saat ini
2022. Hal ini dilakukan GNI sebagai lembaga institusi pemerintah yang bertugas memberikan
layanan edukasi dan juga pemeliharaan koleksi negara. Penelitian akan mengkaji perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi terhadap program edukasi publik “Menjadi Apresiator Seni Terhebat”
priode 2015-2022. Perspektif “New Museology” pada program edukasi publik yang di jalankan
GNI “Menjadi Apresiator Seni Terhebat” priode 2015-2022.
Penelitian kualitatif ini menggunakan pengolahan data arsip dan wawancara dengan narasumber.
Teori “New Museology” khususnya pada aspek mediasi, edukasi berkelajutan, dan evaluasi
menekankan pada variable keterkaitan antara teori manajemen, teori edukasi museum, dan teori
komunikasi. GNI menjadi pionir program “Menjadi Apresiator Seni Terhebat” karena program
tersebut baru dijalankan oleh GNI, museum yang dikelola Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan belum pernah menjalankan program yang serupa.
Berdasarkan data dan wawancara tahun 2015-2022 perencanaan dan pelaksanaan program
“Menjadi Apresiator Seni Terhebat” dilakukan secara berulang hanya tempat pelaksanaan dan
pameran yang berbeda, partisipasi dalam pelaksanaan program harus bisa melibatkan publik secara
luas bukan hanya terbatas pada tingkat SMP/SMA sederajat, evaluasi terhadap program belum
terlaksana karena tujuan program “Menjadi Apresiator Seni Terhebat” menjadikan peserta sebagai
agen untuk perubahan sikap dan perilaku, perlunya proses pertukaran komunikasi agar
menimbulkan efek dari pesan yang disampaikan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pada
program “Menjadi Apresiator Seni Terhebat” belum ideal secara prosedur pada perinsip “New
Museology” khususnya pada aspek mediasi, edukasi berkelanjutan, dan evaluasi