digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Museum menjadi sarana dan prasarana mengomunikasikan sejarah masa lalu dan mengembangkan kemasa depan. Museum pada dasarnya menjalankan dua fungsi besar, yaitu sebagai tempat pelestarian budaya baik tangible maupun intangible, dan sebagai sumber informasi budaya. Sehingga fungsi sebagai layanan edukasi tidak dapat dipisahkan dari sebuah institusi baik museum yang dikelola pemerintah dan swasta. Permasalahan yang timbul di museum yang dikelola pemerintah, swasta dan perhelatan seni di Indonesia diberbagai negara adalah apresiasi terhadap karya seni, kurangnya program edukasi publik dalam mensosialisasikan bagaimana mengapresiasi karya yang baik. Banyak apresiator merespon secara berlebihan pada saat mengapresiasikan karya seni. Hal ini menimbulkan kegelisahan sehingga Galeri Nasional Indonesia membuat program edukasi publik yang bernama “Menjadi Apresiator Seni Terhebat” berawal dari tahun 2015 sampai saat ini 2022. Hal ini dilakukan GNI sebagai lembaga institusi pemerintah yang bertugas memberikan layanan edukasi dan juga pemeliharaan koleksi negara. Penelitian akan mengkaji perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap program edukasi publik “Menjadi Apresiator Seni Terhebat” priode 2015-2022. Perspektif “New Museology” pada program edukasi publik yang di jalankan GNI “Menjadi Apresiator Seni Terhebat” priode 2015-2022. Penelitian kualitatif ini menggunakan pengolahan data arsip dan wawancara dengan narasumber. Teori “New Museology” khususnya pada aspek mediasi, edukasi berkelajutan, dan evaluasi menekankan pada variable keterkaitan antara teori manajemen, teori edukasi museum, dan teori komunikasi. GNI menjadi pionir program “Menjadi Apresiator Seni Terhebat” karena program tersebut baru dijalankan oleh GNI, museum yang dikelola Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan belum pernah menjalankan program yang serupa. Berdasarkan data dan wawancara tahun 2015-2022 perencanaan dan pelaksanaan program “Menjadi Apresiator Seni Terhebat” dilakukan secara berulang hanya tempat pelaksanaan dan pameran yang berbeda, partisipasi dalam pelaksanaan program harus bisa melibatkan publik secara luas bukan hanya terbatas pada tingkat SMP/SMA sederajat, evaluasi terhadap program belum terlaksana karena tujuan program “Menjadi Apresiator Seni Terhebat” menjadikan peserta sebagai agen untuk perubahan sikap dan perilaku, perlunya proses pertukaran komunikasi agar menimbulkan efek dari pesan yang disampaikan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pada program “Menjadi Apresiator Seni Terhebat” belum ideal secara prosedur pada perinsip “New Museology” khususnya pada aspek mediasi, edukasi berkelanjutan, dan evaluasi