ABSTRAK Jason Filius Santoso
PUBLIC Irwan Sofiyan COVER - Jason F. Santoso.pdf
PUBLIC Irwan Sofiyan BAB I - Jason F. Santoso.pdf
PUBLIC Irwan Sofiyan BAB II - Jason F. Santoso.pdf
PUBLIC Irwan Sofiyan BAB III - Jason F. Santoso.pdf
PUBLIC Irwan Sofiyan BAB IV - Jason F. Santoso.pdf
PUBLIC Irwan Sofiyan BAB V - Jason F. Santoso.pdf
PUBLIC Irwan Sofiyan PUSTAKA Jason Filius Santoso
PUBLIC Irwan Sofiyan LAMPIRAN - Jason F. Santoso.pdf
PUBLIC Irwan Sofiyan
Salah satu teknologi yang populer digunakan untuk menyalurkan minyak dan gas adalah pipa bawah laut. Terdapat berbagai standar berlaku yang secara ketat mengatur proses desain pipa bawah laut untuk menghasilkan desain yang aman dan optimum, sekaligus memitigasi berbagai risiko kegagalan dari sisi desain berbasis operasi itu sendiri. Meskipun demikian, masih terdapat berbagai risiko eksternal lainnya yang dapat terjadi selama masa operasi pipa bawah laut yang mampu menyebabkan kegagalan yang fatal pada pipa. Salah satu penyebab kecelakaan pipa bawah laut yang terbesar adalah akibat interaksi dengan jangkar kapal. Meskipun kemungkinan terjadinya peristiwa ini rendah, kerusakan yang terjadi dapat berakibat fatal.
Selama masa operasi, dapat muncul pula kerusakan pada struktur pipa karena kurangnya fusi pada daerah las, kurangnya penetrasi las, korosi terlokalisasi yang berbentuk tajam, kombinasi korosi dan tegangan residual, maupun tumbukan dengan jangkar atau kapal. Cacat fabrikasi dan kerusakan yang dialami selama operasi umumnya tampak dalam wujud retakan. Jika suatu pipa memiliki cacat, kriteria desain umum berupa perbandingan tegangan operasional terhadap tegangan leleh material tidak lagi dapat menjadi satu-satunya kriteria pemeriksaan integritas yang digunakan, namun perlu juga diperhatikan kriteria fitness-for-service berdasarkan mekanika fraktur.
Sistem pipa bawah laut memikul berbagai beban siklik maupun beban eksternal lainnya selama masa operasinya. Beban ini dapat menyebabkan cacat retak yang terdapat pada pipa untuk berinisiasi dan berpropagasi, sehingga mengakibatkan kerusakan fatal pada struktur. Salah satu skenario kegagalan pipa yang paling berbahaya adalah cacat retak yang terus bertumbuh besar hingga merusak pipa dengan total panjang yang signifikan dan berakhir dengan pengeluaran konten pipa dalam jumlah besar dan cepat.
Dengan demikian, pada penelitian ini dilakukan pemodelan pipa bawah laut yang memiliki retakan yang kemudian tertarik jangkar kapal. Penelitian ini melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya yang belum melibatkan faktor retakan pada pipa bawah laut pada pemodelan tarikan jangkar. Tujuan penelitian ini adalah memodelkan retakan dan propagasi retakan pada pipa bawah laut, menentukan pengaruh retakan pada pipa bawah laut yang tertarik jangkar kapal, dan menentukan pengaruh dimensi retakan pada besarnya propagasi retakan pada pipa bawah laut akibat beban tarikan jangkar kapal.
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pemodelan matematika khususnya analisis numerik menggunakan metode elemen hingga. Pemodelan akan dilakukan dengan memanfaatkan perangkat lunak Abaqus, khususnya fitur extended finite element method (XFEM) untuk pemodelan lokal. XFEM digunakan untuk melakukan analisis retakan dan pertumbuhan retakan tersebut pada model tanpa perlu mendefinisikan ulang mesh yang digunakan. Alur umum penelitian ini dimulai dengan studi literatur, kemudian pengumpulan data yang relevan, perhitungan stress intensity factor (SIF) untuk kondisi operasi, validasi model XFEM untuk propagasi retakan dengan membandingkan nilai SIF teoritis dari API 579-1 dan SIF hasil pemodelan lokal statik pipa, pemodelan global interaksi pipa dan jangkar untuk penentuan gaya pada perpindahan maksimum, pemodelan lokal interaksi pipa dan jangkar untuk pemodelan perilaku retakan, dan analisis hasil pemodelan.
Penelitian ini menghasilkan model elemen hingga untuk melakukan analisis keretakan pada pipa dengan menghitung nilai SIF. Model-model ini telah divalidasi menggunakan nilai SIF teoritis dari API 579-1, dimana hasil perhitungan SIF Abaqus memiliki deviasi maksimum 4.61% untuk kesembilan kasus yang dipelajari (a = 4, 5, 6 mm; 2c = 20, 40, 60 mm). Seluruh kasus retakan yang dipelajari masih dapat ditoleransi untuk kondisi operasional, karena variasi kasus retakan terbesar hanya memberikan nilai SIF sebesar 9.703 ksi?in akibat beban operasional pipa. Nilai ini jauh di bawah fracture toughness pipa yaitu 153.713 ksi?in, sehingga retakan tidak akan berpropagasi.
Pada kasus beban tarikan jangkar dari kapal yang digunakan pada penelitian ini, pipa tertarik hingga sejauh 214.565 meter. Pada jarak tarikan ini, seluruh kasus retakan mengalami propagasi dan menyebabkan pipa mengalami kebocoran. Variasi retakan terkecil menyebabkan pipa mengalami kebocoran pada jarak tarikan 67.839 meter, sedangkan variasi retakan terbesar menyebabkan pipa mengalami kebocoran hanya pada jarak tarikan 33.389 m. Setiap milimeter kedalaman awal retakan lebih memengaruhi kekuatan pipa dalam menahan kebocoran akibat propagasi retakan untuk kasus beban tarikan jangkar serta besarnya perpanjangan retakan di sisi luar pipa dibandingkan panjang awal retakan.