Bagi kalangan pesantren dalam mencari ilmu bukanlah kegiatan eksklusif,
melainkan ada misi sosial yang harus dibangun. “Ilmu tanpa diamalkan bagaikan
pohon tak berbuah”, demikian adigium yang dipegang oleh kalangan santri dan
paling dekat untuk mengamalkan ilmu adalah warga desa sekitar pesantren tempat
mereka menimba ilmu. Pendirian pesantren Karanggedang memiliki tujuan yaitu
mengabdi kepada islam khususnya budi pekerti masyarakat sekitar yang terkenal
abangan dan kriminal. Hadroh menjadi pertunjukan kegemaran bagi sebagian besar
warganya. Selain itu mereka sebenarnya sangat tertarik dengan wayang, namun ada
larangan pergelaran wayang di desa Salebu, berlaku untuk beberapa daerah di
Cilacap yang memiliki situs panembahan yang berkaitan dengan kerajaan
Padjajaran.
Santri sebagai agen sosial menjadi perantara perkembangan desa mereka. Beberapa
metode pembelajaran sudah diterapkan termasuk metode “kanca sinau” menitik
beratkan pada pemahaman diri terhadap suatu permasalahan secara langsung. Agar
mudah memahaminya para sanrti diberi materi seni-budaya yang sifatnya terapan,
seperti menulis, melukis, dan kegiatan kreatif lainnya. Membaca kesenangan warga
sekitar yag tertarik dengan hadroh dan wayang, maka dalam pameran “bekti dusun”
ini menjadi media para santri dalam merealisasikan apa yang sudah mereka pelajari.
Mengamalkan ilmu mereka dengan menjadi agen sosial, membaca isu-isu yang ada
di lingkungan sekitar dan memvisualisasikannya melalui wayang dan diiringi
dengan lagu-lagu yang mengandung pesan moral.Pesantren Karanggedang
berusaha baik memainkan peran khususnya dalam pemahaman tentang
moderenisasi pengetahuan dan seni-budaya berbasis tradisi-agama, adab, dan
pengurangan tindak kriminalitas.