digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

COVER - Estovio Farrel Timothy
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

BAB 1 - Estovio Farrel Timothy
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

BAB 2 - Estovio Farrel Timothy
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

BAB 3 - Estovio Farrel Timothy
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

BAB 4 - Estovio Farrel Timothy
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

BAB 5 - Estovio Farrel Timothy
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

BAB 6 - Estovio Farrel Timothy
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

BAB 7 - Estovio Farrel Timothy
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

PUSTAKA - Estovio Farrel Timothy
Terbatas  Alice Diniarti
» Gedung UPT Perpustakaan

Keterbatasan lahan serta pertumbuhan penduduk Indonesia yang eksponensial setiap tahunnya mendorong pembangunan dilakukan secara vertikal. Sehingga, penggunaan lahan perlu dioptimalkan, salah satunya dengan pembangunan gedung tinggi. Dalam perencanaan gedung tinggi, banyak aspek yang harus diperhitungkan agar gedung tinggi layak digunakan, baik dari segi keamanan maupun kenyamanan. Indonesia, sebagai wilayah dengan potensi gempa bumi yang tinggi, memiliki peraturan yang mengatur perancangan struktur tahan gempa, yaitu SNI 1726:2019 yang diadopsi dari ASCE 7-16. Kendati SNI 1726:2019 berlaku untuk perancangan bangunan tahan gempa secara umum, namun tidak dapat dipungkiri terdapat beberapa limitasi dalam penerapannya. Gedung tinggi mempunyai periode natural struktur yang panjang dan berdampak pada koefisien gempa aktual (Cs,aktual) struktur lebih kecil daripada batasan nilai koefisien gempa minimum (Cs,min). Sehingga, jika gedung tinggi didesain dengan metode konvensional, akan menyebabkan gaya gempa yang dieksitasi pada struktur jauh lebih besar daripada yang seharusnya dan berimplikasi pada desain struktur gedung bertingkat tinggi menjadi tidak efektif. Desain berbasis kinerja (performance-based approach) dapat menjadi alternatif pendekatan desain seismik agar kinerja struktur tercapai dengan lebih efisien. Pada Tugas Akhir ini dilakukan perancangan bangunan tahan gempa pada sebuah gedung 36 lantai dengan sistem ganda, gedung ini merupakan modifikasi dari bangunan pada literatur Task 12 Report for the Tall Buildings Initiative (PEER TBI) Case Studies of the Seismic Performance of Tall Buildings Designed by Alternative Means. Gedung ini akan didesain menggunakan pendekatan Code-prescriptive (SNI 1726:2019) dan Performance-based seismic design (PEER/TBI). Respon struktur, reduksi gaya dalam elemen struktur, persentase pengurangan kebutuhan penulangan elemen struktur, serta biaya material struktur akan menjadi tinjauan utama dalam pengerjaan Tugas Akhir ini. Evaluasi dan desain menggunakan Performance-Based Design (PBD) seharusnya dilakukan melalui dua tahap evaluasi, yaitu evaluasi level servis yang dilakukan terlebih dahulu untuk menentukan desain awal dari elemen struktur, kemudian perlu dilakukan verifikasi secara nonlinear berdasarkan gempa MCER. Namun pada tugas akhir ini hanya akan ditinjau untuk evaluasi level servis (SLE). Desain PBD pada level SLE secara umum memiliki prosedur yang sama dengan code-prescriptive, namun terdapat perbedaan dalam input level gempa, kombinasi pembebanan, faktor modifikasi respon (R, ?0, ?, Cd), penskalaan gaya geser, faktor reduksi kekakuan, torsi tak terduga, dan juga acceptance criteria. Desain penulangan dengan metode PBD digolongkan menjadi dua jenis elemen berdasarkan perilakunya, yaitu Deformation-Controlled dan Force-Controlled. Elemen yang termasuk Deformation-Controlled yaitu tulangan longitudinal balok, longitudinal kolom, longitudinal pelat, longitudinal dinding geser, dan longitudinal balok perangkai, sedangkan elemen yang termasuk Force-Controlled yaitu tulangan transversal balok, transversal kolom, confinement hubungan balok-kolom, transversal dinding geser, dan transversal balok perangkai. Elemen Deformation-Controlled memiliki kecenderungan detailing lebih menentukan daripada gaya, karena terdapat syarat DCR < 1.5 dan ? = 1. Berdasarkan hasil analisis, desain PBD pada level SLE, menunjukkan hasil yang lebih efisien daripada Code-Prescriptive untuk elemen Deformation-Controlled, sedangkan untuk elemen Force-Controlled didapat penulangan yang sama meskipun beban gempa lebih besar karena syarat DCR < 1.0 dan ? = sesuai code. Namun hal ini berbeda untuk tulangan longitudinal balok, pelat, dan dinding geser yang justru tidak mengalami reduksi kebutuhan tulangan karena terdapat limitasi tulangan minimum, amplifikasi gaya dalam yang dominan, limitasi fabrikasi baja tulangan, serta asumsi bahwa tulangan torsi termasuk Force-Controlled karena kegagalan torsi tidak diharapkan. Acceptance Criteria level Global (story drift) dan level komponen (syarat DCR dan ?) dipenuhi untuk setiap elemen struktur pada desain PBD. Pada desain PBD Digunakan Cd =1 sehingga story drift memenuhi acceptance criteria global untuk evaluasi SLE (Drift Limit 0.5%). Gaya dalam dan base shear yang dihasilkan, lebih besar untuk level SLE karena input gempa yang diberikan lebih besar (Gempa SLE periode ulang 43 Tahun, Modifier R=1). Reduksi biaya material struktur secara keseluruhan menggunakan desain PBD pada level SLE didapat sebesar 2,76%, dengan catatan tidak melakukan optimasi ukuran beton, tidak melakukan peninjauan fondasi, serta tidak melakukan analisis nonlinear untuk evaluasi MCER. Penghematan biaya material struktur mungkin dapat lebih signifikan jika metode PBD diterapkan pada gedung yang mempunyai periode natural struktur yang panjang dan atau setelah desain dilakukan hingga evaluasi MCER.