Indonesia terletak di daerah tektonik yang sangat kompleks dan aktif. Hal itu menyebabkan wilayah Indonesia memiliki tingkat bahaya kegempaaan yang sangat tinggi, hilangnya ribuan jiwa, runtuh dan rusaknya ribuan infrastruktur dan bangunan, serta keluarnya dana trilyunan rupiah untuk rehabilitasi dan rekonstruksi. Pengurangan risiko bencana pada infrastruktur akibat gerakan tanah dapat dilakukan melalui proses perencanaan dan konstruksi yang baik yang diatur dalam standar nasional perencanaan infrastruktur tahan gempa untuk gedung, jembatan, bendungan, maupun tipe infrastruktur lainnya dengan memperhitungkan suatu tingkat beban gempa dalam perencanaan. Besaran beban gempa dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) didapat dari Peta Bahaya Gempa Indonesia. Peta tersebut menyajikan nilai percepatan maksimum dan percepatan respon spektra gempa di batuan dasar. Indonesia telah memiliki empat peta bahaya gempa yang telah digunakan secara nasional untuk perencanaan tahan gempa sejak 1983 hingga saat ini. Sesuai dengan rekomendasi dari Laporan Peta Hazard Gempa Indonesia 2010, perlu dilakukan pemutakhiran dan penyempurnaan secara rutin setiap 5-6 tahun guna mengikuti perkembangan terkini ilmu dan teknologi kegempaan. Peta gempa Indonesia paling mutakhir diterbitkan tahun 2017 yang dibuat dengan menggunakan piranti lunak United States Geological Survey Probabilistic Seismic Hazard Analysis (USGS PSHA) dan diverifikasi dengan OpenQuake. Diharapkan pada tahun 2023 atau 6 tahun sejak diterbitkannya Peta Bahaya Gempa Indonesia 2017 dapat dihasilkan peta gempa yang baru. Peta gempa yang baru tersebut tetap mempertimbangkan peta gempa sebelumnya dan SNI-03-1726-2019 dalam upaya disaster risk reduction. Penelitian ini dilakukan dalam rangka pembuatan Peta Gempa Indonesia 2023. Pemodelan sumber gempa dalam PSHA yang digunakan meliputi sumber gempa sesar, sumber gempa subduksi megathrust dan sumber gempa background untuk shallow background dan Benioff zone. Modifikasi subroutine pada modul HazGridXNga, HazFXNga dan HazSubXNga yang berbasis bahasa Fortran dilakukan guna menambahkan GMPE terbaru dalam USGS PSHA termasuk NGA West2. GMPE yang ditambahkan meliputi (1) Boore et al. 2014, (2) Campbell Bozorgnia 2014 dan (3) Chiou Youngs 2014 untuk sumber shallow crustal, (4) BCHydro 2012 untuk subduksi dan (5) Zhao et al. 2006, (6) Abrahamson et al. 2018 untuk Benioff Zone. Piranti lunak OpenQuake merupakan piranti lunak yang digunakan dalam pembuatan peta bahaya gempa 2017 selain USGS PSHA. Dibandingkan dengan software USGS PSHA, OpenQuake memiliki alternatif model yang lebih lengkap untuk sumber gridded seismicity yang meliputi opsi untuk model geometri rupture strike, dip dan rake. Namun OpenQuake memerlukan sebuah modul guna mempersiapkan sumber gempa background untuk diolah di tahap selanjutnya. Saat ini modul tersebut masih dikembangkan oleh peneliti luar negeri sehingga pengembangan modul tersebut di Indonesia diperlukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap peneliti asing. Pembaharuan peta bahaya gempa Indonesia tahun 2017 dilakukan dengan mempertimbangkan sumber gempa baru dan GMPE yang telah ditambahkan. Data sumber gempa yang digunakan meliputi katalog Gempa dari BMKG yg telah terelokasi hingga tahun 2020 dan dengan menambahkan segmen-segmen baru bagian dari sistem Sesar Palukoro yang telah dipublikasikan setelah kejadian gempa tahun 2018. Dalam studi ini telah dilakukan perbandingan hasil PSHA dari GMPE lama dan GMPE baru di enam kota besar di Pulau Jawa (Jakarta, Serang, Bandung, Yogyakarta, Semarang dan Surabaya). Peningkatan nilai percepatan terjadi pada sumber gempa shallow background jika dibandingkan dengan GMPE lama apabila menggunakan GMPE Cambell Bozorgnia 2014 dan penurunan nilai percepatan jika menggunakan Chiou Youngs 2014 dan Boore et al. 2014. Pada sumber gempa subduksi (Megathrust), GMPE BCHydro 2012 memiliki nilai percepatan yang cenderung lebih rendah. Pada sumber gempa sesar, GMPE Boore et al. 2014 memiliki nilai yang paling rendah jika diaplikasikan pada daerah yang jauh dari sesar. GMPE Campbell Bozorgnia 2014 memiliki kecenderungan bernilai terendah pada daerah dekat sesar. Untuk GMPE Chiou Young 2014, nilai percepatan yang dihasilkan cenderung sama. Pada sumber gempa Benioff zone, GMPE Zhao et al. 2006 menghasilkan nilai percepatan yang tertinggi, sementara GMPE Abrahamson et al. 2018 cenderung sama. Pengaruh gridded seismicity yang teramati pada studi ini ialah terjadinya peningkatan percepatan pada beberapa wilayah yang mencapai 0,1-0,5g di beberapa kota besar di Indonesia dibandingkan dengan Peta Bahaya Gempa Indonesia 2017. Hal ini terjadi karena nilai parameter input sangat berpengaruh terhadap nilai percepatan yang dihasilkan. Peta bahaya gempa yang didapatkan menggunakan gabungan USGS PSHA dan OpenQuake (6:4) secara garis besar memiliki pola yang mirip dengan peta gempa 2017 untuk semua kala ulang. Perbedaan yang ada berupa peningkatan percepatan maksimal dalam rentang 0,05-0,1g serta adanya perluasan wilayah yang mengalami peningkatan percepatan di sebagian besar Pulau Irian dan sebagian kecil di Kalimantan, Nusa Tenggara dan Kepulauan Maluku. Perluasan wilayah yang mengalami peningkatan percepatan tersebut dipengaruhi oleh katalog gempa yang dipakai. Studi ini telah berhasil menghasilkan Peta Bahaya Gempa melalui pengembangan modifikasi piranti lunak USGS PSHA dengan mempertimbangkan GMPE yang baru, mengembangkan modul pre-processing OpenQuake, mempertimbangkan kejadian-kejadian gempa setelah 2017 dan memperhitungkan segmen-segmen sesar baru bagian dari sistem Sesar Palukoro. Diharapkan hasil studi ini bisa dijadikan referensi untuk pemutakhiran Peta Bahaya Gempa Indonesia 2023.