Implementasi transportasi multimoda di negara-negara maju relatif berkembang
pesat, seperti yang ditunjukkan oleh meningkatnya penggunaan kontainer yang
dapat mengurangi waktu pada titik transhipment, transportasi yang relatif cepat,
mengurangi formalitas manajemen dokumen, serta penghematan biaya sehingga
dapat mengurangi harga barang dan meningkatkan daya saing. Hingga saat ini
implementasi sistem transportasi multimoda di Indonesia masih relatif lambat.
Transportasi multimoda logistik merupakan manajemen jaringan multi-aktor,
dimana pelaku memiliki kekuatan pasar yang berbeda dalam sistem transportasi
logistik. Terdapat berbagai faktor keberhasilan dari sistem transportasi multimoda
namun juga ada kendala dari sistem transportasi multimoda adalah masalah
kelembagaan yaitu lemahnya koordinasi antara aktor yang terlibat dalam
transportasi multimoda. Penelitian ini bertujuan mengkaji kordinasi kelembagaan
dalam sistem layanan transportasi multimoda yang dapat mendukung perwujudan
sistem logistik di Pelabuhan Tanjung Priok dari perpektif TCT (Transaction Cost
Theory) dan PAT (Principal Agent Theory).
Lingkup penelitian meliputi penerapan konsep kelembagaan transportasi
multimoda untuk mendukung sistem logistik di Pelabuhan Tanjung Priok dengan
berpijak pada konsep keterkaitan proses pergerakan barang. Penelitian ini
membahas aspek-aspek kelembagaan dari sisi Transaction Cost Theory dan
Principal Agent Theory untuk transportasi multimoda logistik. Transportasi
multimoda tidak bisa sepenuhnya dipahami tanpa analisis yang lebih besar dari isuisu kunci yang timbul dari analisis mendalam dua teori tersebut dari karakteristik
kelembagaan transportasi multimoda dan logistik itu sendiri.
Penelitian ini menggunakan Q-Metodologi dan Analisis Stakeholder sebagai alat
analisis untuk menunjang dua teori diatas. Q-Metodologi membantu merumuskan
struktur persepsi aktor yang lebih sederhana yang disebut pola persepsi aktor (PP).
Sistem persepsi mewakili tema persepsi utama beberapa aktor, yang akan
membantu analisis untuk fokus hanya pada tema-tema persepsi yang paling
signifikan yang akan digunakan sebagai kerangka kerja untuk langkah analisisii
selanjutnya untuk mengeksplorasi unsur-unsur substansial dari biaya transaksi
berdasarkan hasil wawancara mendalam. Analisis Stakeholder akan lebih
menjelaskan hasil analisis dari Q-Metodologi dalam pemetaan aktor, pengaruh,
urgensi dan kepentingannya.
Konsep koordinasi digunakan sebagai basis untuk melihat hubungan yang selama
ini sudah terbentuk dalam koordinasi kelembagaan, untuk melihat siapa aktor yang
akan terlibat dalam pengembangan kelembagaan untuk melihat aktivitas koordinasi
diantara faktor-faktor hambatan untuk implementasi transportasi multimoda untuk
logistik. Berangkat dari konsep koordinasi tersebut, penelitian ini menelusuri
seperti apa dinamika dan rentang peran antaraktor, kemudian strategi maupun
kebijakan yang telah dan harus dilakukan dan faktor-faktor apa saja yang dapat
menopang keberhasilan dan keberlanjutan terwujudnya koordinasi kelembagaan
transportasi multimoda untuk logistik di Pelabuhan Tanjung Priok
Berdasarkan Perspektif teori biaya transaksi (TCT), struktur masalah kelembagaan
transportasi multimoda di Pelabuhan Tanjung Priok diantaranya adalah urgensi
kelembagaan transportasi antar pemangku kepentingan tidak berjalan dan
Implementasi transportasi logistik multimoda masih lemah karena terkait erat
dengan banyaknya hambatan koordinatif yang dialami regulator, operator, pelaku
logistik, dan pengguna multimoda di Pelabuhan Tanjung Priok. Penelitian ini juga
menemukan bahwa persepsi aktor terhadap biaya transaksi (Teori TCT-PAT) telah
menyingkap permasalahan koordinasi pergerakan barang dari pelabuhan ke
hinterland sebagai hasil ekstraksi dari keempat pola persepsi diantaranya adalah
implementasi regulasi yang lemah, absennya kelembagaan khusus yang mengatur
transportasi multimoda, kurangnya kepercayaan antar aktor, tidak hadirnya
kesamaan tujuan bersama dalam mewujudkan kelembagaan transportasi multimoda
logistik, keberadaan asimetri informasi, serta ketakutan atas hilangnya kendali
pengelolaan sumberdaya dan bisnis eksisting. Oleh karena itu, strategi untuk
mengatasi semua jenis elemen harus dilakukan secara bersamaan. Untuk
memastikan hal ini, strategi jangka pendek dan menengah harus ditetapkan dalam
konteks yang jelas dengan persepsi pengurangan biaya transaksi jangka panjang.