Perpustakaan akademik di perguruan tinggi mengalami perubahan konsep pelayanan. Perubahan tersebut dimulai dari konsep pelayanan perpustakaan yang berbasis reading center kini menjadi learning center. Perubahan ini menciptakan aktivitas dan kebiasaan baru untuk para pengunjung. Banyak riset yang menyatakan bahwa dahulu mahasiswa merasa cepat bosan berada di dalam perpustakaan. Pengunjung merasa mengantuk kalau harus bertemu buku, rak, meja dan kursi. Sejak abad 21 perpustakaan mulai berubah. Perpustakaan tidak hanya menjadi tempat untuk menyimpan dan membaca buku (reading center) tetapi juga harus menciptakan suasana belajar yang kolaboratif (learning center). Perubahan konsep pelayanan tersebut juga dipengaruhi oleh elemen akses interaksi sosial, gaya visual ruangan, perkembangan teknologi dan generasi Z. Keempat elemen learning center itu turut memberikan rasa keterikatan emosional (place attachment) pada perpustakaan akademik. Tiga perpustakaan akademik di tiga perguruan tinggi ternama Indonesia dipilih sebagai studi kasus penelitian, yaitu Perpustakaan Unpad, ITS, dan ITB. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodologi mixed method exploratory sequential. Tahap penelitian kualitatif dilakukan dengan metode analisis deskriptif, wawancara, observasi dan mengumpulkan referensi terkait penelitian. Hasil temuan dari tahap kualitatif dijadikan hipotesis untuk diuji pada tahap kuantitatif. Pengujian tahap kuantitatif menggunakan cara analisis korelasi linier berganda dengan bantuan software SPSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat elemen learning center dapat memberikan pengaruh hubungan yang kuat (64,6%) terhadap keterikatan emosional pengunjung (place attachment) di perpustakaan. Kekuatan hubungan pengaruh pada masing-masing perpustakaan adalah di Perpustakaan Unpad sebanyak 33,7%, di Perpustakaan ITS sebanyak 66% dan di Perpustakaan ITB sebanyak 67,2%. Hasil penelitian juga mengungkapkan fakta bahwa pengunjung perpustakaan perguruan tinggi akan didominasi oleh pengunjung generasi Z. Kelompok generasi Z memiliki preferensi kecenderungan berkunjung ke perpustakaan minimal sekali dalam seminggu, menghabiskan waktu sebanyak 2-4 jam dalam sekali berkunjung serta akan lebih sering bersama teman-teman saat ingin masuk ke perpustakaan. Proses kenyamanan dan ketertarikan pengunjung pada beberapa area di perpustakan akademik juga turut memberi pengaruh terhadap penilaian keterikatan kinerja (place dependence) dan penilaian keterikatan emosional tentang makna identitas (place identity). Hasil perhitungan secara kuantitatif juga dikaitkan dengan teori kerangka respon gangguan (disruption-response framework). Hasil pembahasan dari teori ini menunjukkan bahwa rekomendasi desain yang ideal terhadap konsep perpustakaan berbasis learning center adalah harus memiliki aktivitas interaksi sosial antar pengguna, memiliki gaya visual yang menarik, memiliki kemudahan dalam mengakses koleksi teknologi, serta mampu memahami keinginan kelompok generasi Z.