Sektor konstruksi, termasuk bangunan gedung, memberikan dampak yang besar
terhadap lingkungan selain secara ekonomi dan sosial. Sejak diperkenalkan secara
formal pada tahun 1990 sebagai respon industri konstruksi atas isu lingkungan,
tren bangunan hijau (green building) di dunia semakin meningkat dalam dua
puluh tahun terakhir. Berbagai negara, termasuk Indonesia, telah berupaya untuk
mengadopsi bangunan hijau sebagai standar praktis, dan upaya-upaya telah
dilakukan untuk melakukan sertifikasi bangunan hijau. Ada ratusan sistem
penilaian bangunan hijau yang menjadi bagian dari sertifikasi bangunan hijau
telah digunakan di seluruh dunia.
Secara umum disetujui bahwa aspek-aspek penting dari pembangunan
berkelanjutan sejak didefinisikan pada 1987 dalam Brundtland Report yaitu aspek
lingkungan, ekonomi dan sosial. Perkembangan lebih lanjut dari praktik
berkelanjutan di sektor konstruksi memperkenalkan gagasan konstruksi hijau, dan
khususnya bangunan hijau. Namun, banyak publikasi ilmiah dan dokumen
kebijakan melaporkan beragam makna bangunan hijau di berbagai negara, bahkan
di antara para pemangku kepentingan. Variasi ini telah menciptakan masalah
legitimasi dan penerimaan bangunan hijau. Beberapa publikasi terbaru telah
mengkritik gagasan tentang bangunan hijau, karena cenderung menekankan
indikator lingkungan dan mengusulkan untuk memasukkan aspek sosial dan
ekonomi, sebagai konsep pembangunan berkelanjutan yang diterima secara luas.
Namun, proposal ini memperkenalkan kesulitan lain dalam soliditas teoretis.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran praktik bangunan hijau,
sebagai sebuah inovasi yang mempekenalkan praktik yang tidak biasa, di
Indonesia. Selain kepentingan praktis dan sosialnya, bangunan gedung utama
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dipilih sebagai
studi kasus empiris karena relevansinya secara teoritis. Penelitian ini adalah
penelitian kualitatif digabungkan dengan konsep-konsep teori jejaring-aktor
(actor-network theory (ANT)) untuk memandu desain penelitian. Data utama
iv
diperoleh dari wawancara terhadap enam orang informan yang terdiri dari
perencana, pejabat pemerintah, kontraktor, dan pengelola bangunan yang terlibat
langsung dalam pembangunan dan pengelolaan gedung utama Kementerian PUPR,
serta asesor bangunan hijau yang relevan. Data-data lainnya diperoleh dari
dokumen-dokumen elektronik yang dapat dipercaya. Data yang ada selanjutnya
dikodekan dan diproses menggunakan kerangka kerja “composing the collective”.
Hasil penelusuran menunjukkan bahwa ada periode krusial pada proses
pembangunan gedung utama Kementerian PUPR yaitu ketika terjadi perubahan
desain gedung utama secara total. Perubahan ini dipengaruhi oleh aktor global
yaitu gas karbon dioksida (CO2) di atmosfer. Kadar CO2 di atmosfer membuat
banyak kepala negara bersepakat, melalui Protokol Kyoto, untuk mengurangi
emisinya. Kesepakatan tersebut mengubah konsepsi tentang bangunan ramah
lingkungan yang kemudian lebih dikenal sebagai bangunan hijau. Perubahan
konsepsi ini mengubah fokus tujuan desain yang pada gilirannya mengubah
desain bangunan secara fisik struktural termasuk penggunaan material-material
dan teknik yang tidak biasa. Kerangka kerja “composing the collective”
memetakan berbagai aktor yang terdiri dari manusia dan bukan manusia yang
terlibat dalam perancangan gedung utama. Penelitian ini menunjukkan bagaimana
membawa inovasi teknologi bangunan hijau dalam sebuah proses penyusunan
sebuah “collective” secara demokratis, dengan menerapkan prinsip-prinsip teori
jejaring-aktor pada proses perancangan gedung. Penelitian ini memberikan
tambahan pemahaman secara teoritis terhadap proses perancangan bangunan
gedung secara umum dan, pada gilirannya, praktik implementasi bangunan hijau
yang lebih baik.
Perpustakaan Digital ITB