Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu merupakan salah satu wilayah DAS
penting di Indonesia yang menghadapi berbagai tantangan pengelolaan sumber
daya air, seperti banjir, kekeringan, dan penurunan kualitas air. DAS Citarum Hulu
mencakup wilayah Bandung Metropolitan Area (BMA) yang merupakan pusat
industri dan jasa dengan tingkat urbanisasi dan wilayah permukiman yang tinggi.
Peningkatan jumlah penduduk dan ekspansi permukiman ini akibat urbanisasi,
mendorong peningkatan ekstraksi air tanah untuk memenuhi kebutuhan domestik
dan industri. Namun, dari total kebutuhan air, sekitar 60-80% air yang digunakan
berubah menjadi air bekas (grey water) yang kemudian dialirkan ke Sungai
Citarum. Kondisi ini dapat memengaruhi neraca air pada DAS Citarum Hulu
melalui perubahan distribusi dan keseimbangan komponen hidrologinya.
Penelitian ini melakukan pemodelan DAS Citarum Hulu dengan ekstraksi air tanah
menggunakan model SWAT+ serta pendekatan irrigation operation untuk
mereplika kegiatan ekstraksi air tanah dan suplesinya ke sungai. Pemodelan
hidrologi dilakukan pada periode tahun 2005 sampai 2018. Pemodelan ini
menggunakan 4 kelompok data yaitu data spasial, data meteorologi, data debit, dan
data abstraksi air tanah. Data spasial terdiri dari menggunakan data topografi
SRTM, data jenis tanah FAO DSMW, data tutupan lahan KLHK. Data meteorologi
dan data debit yang digunakan adalah data periode 2001 sampai 2018. Data
ekstraksi air tanah menggunakan data sekunder berupa data ekstraksi harian dari
penelitian sebelumnya dengan periode 2005 sampai 2018. Pendekatan
menggunakan irrigation operation pada model SWAT+ dilakukan untuk mereplika
kegiatan ekstraksi air tanah pada aquifer dangkal (shallow aquifer) serta suplesi
grey water berupa surface runoff ke Sungai Citarum.
Terdapat dua pemodelan yaitu model dasar tanpa ekstraksi air tanah (model WOB)
dan model dengan ekstraksi air tanah (model WAB). Analisis sensitivitas
parameter, kalibrasi serta validasi dilakukan pada model WAB. Parameter statistik
(NSE, R2 dan PBIAS) dan Flow Duraion Curve (FDC) digunakan untuk
mengevaluasi hasil model dengan menggunakan data debit observasi sebagai
acuan. Kalibrasi dilakukan 2 tahap yaitu soft calibration menggunakan automatic
calibration dan hard calibration menggunakan manual calibration dengan periode
kalibrasi tahun 2005-2014 dan periode validasi tahun 2018.
ii
Analisis sensitivitas mengidentifikasi 3 parameter dengan sensitivitas tertinggi pada
model WAB yaitu perco (0.52), cn3_swf (0.09), dan surlag (0.02). Kalibrasi model
menggunakan 5 parameter yaitu cn2, cn3_swf, epco, esco, perco, surlag, dan alpha.
Setelah proses kalibrasi, diperoleh peningkatan kinerja model WAB dengan
parameter statistik keseluruhan periode setelah kalibrasi NSE 0.73, R2 0.76 dan
PBIAS -4%, dari nilai parameter statistik sebelum kalibrasi yaitu NSE 0.73, R2 0.76
dan PBIAS -4%. Hasil FDC menunjukkan setelah dilakukan kalibrasi terdapat
peningkatan distribusi debit, dengan distribusi probabilitas terlampaui pada kisaran
0-5% dan 20–100% yang lebih mendekati pola debit observasi, dibandingkan
sebelum kalibrasi hanya pada probabilitas terlampaui 0% dan 75–100%.
Analisis neraca air dilakukan dengan mengevaluasi komponen precipitation,
surface runoff, lateral flow, baseflow, evapotranspiration, deep aquifer recharge,
revap dan abstraction (ekstraksi air tanah) setiap tahunnya. Perbandingan analisis
neraca air menunjukkan dengan kegiatan ekstraksi air tanah dan suplesinya terjadi
peningkatan surface runoff sebesar 17.71% dan lateral flow sebesar 2.73%.
Sedangkan, pada lapisan aquifer, terjadi penurunan baseflow sebesar 99.996% dan
revap 70.44%. Penurunan evapotranspiration terjadi pada model WOB sebesar
5.92% yang disebabkan oleh penurunan muka air tanah dari shallow aquifer.
Perpustakaan Digital ITB