Cekungan Sumatra Tengah merupakan cekungan dengan tipe belakang busur yang berada di sepanjang Sundaland bagian depan. Cekungan ini merupakan salah satu cekungan aktif, produktif, memiliki dua lapangan besar yaitu lapangan Minas dan Duri yang menyumbangkan 12 miliar barel minyak setara dengan 52% dari produksi total minyak di Indonesia. Sekarang ini, menjadi tantangan yang lebih berat untuk eksplorasi hidrokarbon karena kandungan hidrokarbon pada reservoir Cekungan Sumatra Tengah terus berkurang. Untuk itu, dibutuhkan konsep eksplorasi minyak dan gas bumi yang dapat mengenali karakteristik batuan induk sehingga dapat mengetahui persebaran dari hidrokarbon. Salah satu aspek yang sangat penting untuk memahami hal ini adalah membuat pemodelan cekungan terbaru sehingga dapat mengetahui persebaran dari hidrokarbon. Tujuan dari penelitian ini diantaranya mengevaluasi karakteristik batuan induk, merekonstruksi sejarah pengendapan, evolusi termal, dan generasi hidrokarbon serta menganalisa dan mengidentifikasi waktu kematangan, migrasi, dan ekspulsi batuan induk. Tahapan penelitian meliputi tahap persiapan dan studi literatur, pengumpulan data, analisis dan interpretasi data. Data yang digunakan terbagi menjadi dua yaitu data primer dan sekunder. Data primer yang digunakan adalah data geokimia yang terdiri atas Total Organic Carbon (TOC), pirolisis batuan, dan reflektansi vitrinit. Data geologi yaitu log talikawat. Data sekunder yang digunakan berupa data geofisika berupa seismik 2D.
Analisis data geokimia yang terdiri atas Total Organic Carbon (TOC), pirolisis batuan, dan reflektansi vitrinit akan menghasilkan karakteristik pada batuan induk yang terdiri atas kekayaan batuan induk, temperatur maksimum dalam menghasilkan hidrokarbon, dan kematangan. Analisis data geologi yang terdiri atas data log gamma ray bertujuan untuk mengetahui jenis litologi, log densitas bertujuan untuk mengetahui densitas batuan, dan log sonic untuk mengetahui porositas batuan. Data seismik 2D yang digunakan bertujuan untuk mengetahui batas formasi, kedalaman asli, dan kehadiran struktur geologi pada daerah penelitian. Setelah semua data telah dianalisis dan diinterpretasi, pemodelan cekungan 1D dilakukan untuk mengetahui sejarah pemendaman daerah penelitian. Data yang diperlukan untuk pemodelan cekungan 1D adalah data geokimia dan geologi. Selanjutnya pemodelan cekungan 2D juga dilakukan untuk mengetahui kematangan batuan induk secara lateral. Data yang diperlukan untuk pemodelan cekungan 2D adalah data geokimia, geologi, dan geofisika.
Evaluasi batuan induk dilakukan pada Formasi Lower Red Bed dan Formasi Brown Shale. Hasil evaluasi batuan induk pada Sumur A menunjukkan bahwa Formasi Lower Red Bed masuk ke dalam kategori luar biasa (14.38 – 63.8 wt%) dengan tipe kerogen I – III. Untuk Formasi Brown Shale dibagi menjadi dua yaitu Formasi Brown Shale Batubara dengan kualitas luar biasa (17.19 – 55.42 wt%) dengan tipe kerogen II – III dan Formasi Brown Shale dengan kualitas baik – baik sekali (1.32 – 4 wt%) dengan tipe kerogen I – III. Batuan induk Sumur B menunjukkan bahwa Formasi Lower Red Bed masuk ke dalam kategori baik – baik sekali (1.33 – 3.16 wt%) dengan tipe kerogen II – III, Formasi Brown Shale Batubara masuk ke dalam kategori baik sekali (2.29 – 3.16 wt%) dengan tipe kerogen II – III, dan Formasi Brown Shale baik sekali (2.6 – 2.71 wt%) dengan tipe kerogen II – III. Tingkat kematangan Sumur A Formasi Lower Red Bed menunjukkan awal matang (435 – 444?C) dengan potensi menghasilkan minyak (0.94 – 0.95%). Sedangkan Formasi Brown Shale Batubara menunjukkan awal matang (435 – 437?C) dengan potensi menghasilkan minyak (0.92 – 0.96%) dan Formasi Brown Shale menunjukkan awal – akhir matang (446 – 456?C) dengan potensi menghasilkan minyak (0.64 – 1.01). Untuk Formasi Lower Red Bed Sumur B menunjukkan tingkat kematangan belum – awal matang (413 – 447?C) dengan potensi menghasilkan minyak (0.55 – 1.15%). Formasi Brown Shale Batubara menunjukkan tingkat kematangan belum – awal matang (434 – 449?C) dengan potensi menghasilkan minyak (0.64 – 0.67%) Sedangkan untuk Formasi Brown Shale menunjukkan tingkat kematangan awal matang (446?C) dengan potensi menghasilkan minyak (0.57%).
Analisis pemodelan cekungan 1D pada Sumur A menunjukkan bahwa batuan induk telah memasuki jendela minyak pada tahap akhir. Generasi hidrokarbon diperkirakan telah berlangsung sejak Miosen Tengah (14.25 juta tahun lalu) dan mengalami ekspulsi pada Pleistosen. Sedangkan untuk Sumur B menunjukkan bahwa batuan induk telah memasuki jendela minyak pada tahap akhir. Generasi hidrokarbon diperkirakan telah berlangsung sejak Miosen Tengah (15.49 juta tahun lalu) dan mengalami ekspulsi pada Pleistosen untuk Formasi Lower Red Bed. Sama halnya dengan pemodelan cekungan 1D, pemodelan cekungan 2D menunjukkan bahwa batuan induk daerah penelitian telah memasuki jendela minyak pada tahap akhir (late oil). Migrasi hidrokarbon menunjukkan bahwa hidrokarbon daerah penelitian mengalami migrasi lebih ke arah vertikal dan mengalami akumulasi pada Formasi Bangko.
Perpustakaan Digital ITB