Pertumbuhan penduduk di perkotaan, dapat menimbulkan pertumbuhan
pemukiman kumuh. Salah satu penyebab dari kondisi ini adalah infrastruktur
sanitasi yang tidak memadai. Pemenuhan sanitasi yang memadai dan
berkelanjutan dilakukan salah satunya dengan penyediaan teknologi. Pendekatan
Water-Sensitive Design (WSD) menawarkan kerangka kerja yang menjanjikan
untuk memenuhi tantangan ini. Menekankan keberlanjutan, integrasi siklus air
alami, dan meminimalkan dampak lingkungan. Pendekatan ini melibatkan
evaluasi menyeluruh terhadap tantangan pengelolaan air yang ada dan
kelangsungan jangka panjang sistem air dan sanitasi. Penelitian ini bertujuan
untuk mengkaji pengembangan teknologi sanitasi yang berkelanjutan pada suatu
pemukiman kumuh dengan memperhatikan aspek WSD, karakteristik kawasan
dan dukungan pemangku kepentingan. Melalui penelitian ini diharapkan teknologi
sanitasi yang dikembangkan dengan pendekatan WSD dapat diaplikasikan oleh
pengguna secara berkelanjutan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan sarana
sanitasi dan mengurangi pencemaran pada lingkungan. Tiga lokasi kota studi dipilih sebagai studi kasus, berdasarkan kajian Bank Dunia
tahun 2018 mengenai lokasi-lokasi kota yang memiliki pemukiman kumuh dan
memiliki masalah sensitivitas air. Kota studi tersebut adalah Kota Bima, Provinsi
Nusa Tenggara Barat; Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara, dan Kota
Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat. Penelitian pengembangan teknologi
dilakukan dalam tiga tahapan utama. Tahapan pertama melalui identifikasi dan
observasi terhadap karakteristik kawasan dan masalah sanitasi dari setiap lokasi
studi pemukiman kumuh. Identifikasi menggunakan kuesioner tertutup berbasis
Environmental Health and Risk Asessment (EHRA). Identifikasi juga dilakukan
terhadap peran serta pemangku kepentingan dalam mendukung pengelolaan
sanitasi di pemukiman kumuh dengan menggunakan metode analisis pemangku
kepentingan, power interest matrix dan social network analysis (SNA). Hasil
identifikasi mendapatkan semua pemukiman kumuh berada pada lokasi yang
spesifik dan memiliki masalah sensitivitas air. Lokasi pemukiman kumuh kerap
terjadi banjir, dengan keterbatasan pengolahan air limbah domestik dapat
menyebabkan masalah pencemaran pada sumber air dan lingkungan. Sementara
itu, identifikasi pemangku kepentingan mendapatkan instansi pemerintah menjadi aktor kunci kelompok pemangku kepentingan dalam menangani permasalahan
sanitasi di pemukiman kumuh.
Tahapan kedua adalah pengujian yang diawali dengan pemilihan lokasi fokus dan
teknologi sanitasi yang sesuai kondisi lokasi. Tambelan Sampit, Kota Pontianak
terpilih sebagai lokasi fokus uji coba pengembangan teknologi, dengan
memperhatikan risiko sanitasi dan dukungan pemangku kepentingan. Teknologi
sanitasi terpilih yakni Tripikon-S, dipilih sebagai solusi yang sesuai untuk kondisi
sanitasi di Tambelan Sampit, Pontianak, sebuah wilayah dengan tipologi
pemukiman di tepi sungai. Tripikon-S memiliki kemampuan untuk mengurangi
pencemaran dengan pembangunan yang mudah, sesuai kondisi lokasi, biaya yang
lebih murah, dan pemeliharaan yang memadai. Modifikasi Tripikon-S dengan
pendekatan WSD melalui penambahan filter ijuk dan media terlekat,
menggunakan media alami seperti batu apung dan media buatan bioball. Pada
pengujian batch anaerob untuk sampel blackwater artifisial, penyisihan organik
COD rata-rata 84%-98%. Pada pengujian dengan aliran kontinu, dengan sampel
limbah blackwater dan mixed wastewater artifisial penyisihan organik COD
berkisar antara 30%-60%. Tripikon-S diuji coba di pemukiman kumuh Tambelan
Sampit, Pontianak, pada skala lapangan dengan penambahan bioball dan ijuk pada
sistem Tripikon-S. Hasil pengujian lapangan menunjukkan penyisihan COD
mencapai 80% dan total coli mencapai 100%, menunjukkan potensi Tripikon-S
untuk daur ulang air dan peningkatan kualitas air buangan dibandingkan praktik
yang umum dilakukan warga di lokasi studi. Tahap terakhir adalah evaluasi potensi keberlanjutan, mencakup evaluasi
penerimaan dan optimalisasi pemberdayaan masyarakat untuk memastikan
keberlanjutan pengelolaan sanitasi dalam jangka panjang. Penggunaan model
UTAUT dengan pendekatan SEM-PLS mengidentifikasi faktor-faktor kunci yang
memengaruhi penerimaan masyarakat terhadap teknologi ini. Hasil penelitian,
faktor social influence dan facilitating condition menjadi faktor kunci dalam
mendorong perubahan perilaku dan adopsi teknologi sanitasi. Sementara, faktor
pendukung partisipasi pemberdayaan masyarakat untuk keberlanjutan pengelolaan
air limbah domestik menggunakan teknologi sanitasi adalah opportunity structure
atau keberadaan kesempatan oleh pemangku kepentingan, dengan demikian
dukungan dari pihak lain selain rumah tangga pemilik rumah akan mendukung
pengembangan teknologi sanitasi di pemukiman kumuh, terutama di lokasi studi
di Kota Pontianak. Pengembangan teknologi sanitasi dengan pendekatan WSD di
pemukiman kumuh telah dibuktikan di lokasi studi terpilih dapat digunakan dan
diterima masyakat ketika teknologi dipilih berdasarkan hasil identifikasi lokasi,
melalui tahapan ujicoba dan pembangunan telah dikomunikasikan dengan
pemangku kepentingan serta masyarakat.
Perpustakaan Digital ITB