Indonesia memiliki potensi energi yang berasal dari Geothermal / Panas Bumi yang berlimpah. Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral memperkirakan potensi dari energi Geothermal / Panas Bumi di Indonesia mencapai 23.9 GW. Sementara, hingga bulan November 2021 jumlah kapasitas terpasang dari pembangkit listrik yang berasal dari Geothermal / Panas Bumi di Indonesia baru sekitar 2.1 GW (9% dari potensi yang tersedia).
Peraturan saat ini terkait tarif listrik bagi pembangkit listrik yang berasal dari Geothermal / Panas Bumi dibatasi oleh Biaya Pokok Penyediaan (BPP) PT PLN. Berdasarkan peraturan terakhir, BPP untuk Pembangkitan Nasional adalah 7.05 US Cents/ kWh, dimana terdapat variasi antar wilayah didalamnya. Oleh karena itu, dengan batas atas atas harga listrik tersebut, perusahan geothermal di Indonesia harus mengeksplorasi opsi-opsi yang dapat dilakukan agar dapat melakukan pengembangan dan mengoperasikan pembangkit listrik yang berasal dari Geothermal / Panas Bumi dengan memberikan keuntungan ekonomis yang wajar bagi investor.
Untuk mengukur kondisi bisnis, kerangka PESTLE digunakan untuk mengetahui pengaruh faktor eksternal terhadap lingkungan bisnis, selain itu, kerangka Porter’s Five Forces digunakan untuk sedangkan untuk mengukur daya tarik industri geothermal/panas bumi. Di lain sisi, analisis kemampuan internal perusahaan dilakukan dengan menggunakan kerangka VRIO untuk mengetahui tingkat keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Selain itu, Key Drivers yang digunakan dalam Shareholder Value Network yang dibuat oleh Alfred Rappaport digunakan sebagai kerangka untuk melakukan elaborasi opsi-opsi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai pemegang saham.
Keputusan-keputusan bisnis seperti: implementasi kredit karbon, konsolidasi bisnis dan/atau berpartner secara strategis, menjadi perusahaan terbuka (IPO) dan mengimplementasikan green-financing dapat membantu keekonomian dari perusahaan geothermal/panas bumi yang beroperasi di Indonesia.
Perpustakaan Digital ITB