digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Wayang sebagai seni yang bermutu tinggi (adiluhung), mampu menyampaikan pesan-pesan moral keutamaan hidup. Seni budaya wayang memiliki kemampuan “hamot, hamong dan hamemangkat” (menerima, menyaring dan menjadikan sesuatu yang baru) yang berarti menerima masukan budaya lain, walau tidak serta merta diserap namun disaring terlebih dahulu dan dapat diangkat menjadi nilai baru yang sesuai bagi perkembangan wayang itu sendiri. Upaya pengembangan seni pewayangan saat ini tentunya membutuhkan tantangan tersendiri dalam menyajikan kebudayaan klasik tersebut dalam kondisi masa kini khususnya kepada generasi Z yang mempunyai selera visual berbeda dan mempunyai beberapa sifat-sifat khas yang secara fisik ekuivalen dengan digital, selalu terdepan dalam tren dan kompetisi, serta senang melakukan pekerjaan do it yourself. Generasi muda yang hidup di kota-kota besar seperti Jakarta bila ingin melihat dan mengenal wayang dapat mengunjungi Museum Wayang merupakan bentuk perhatian pemerintah dalam hal ini Pemda DKI Jakarta dalam pelestarian budaya tradisional wayang yang terletak di bilangan Kota Tua, Jakarta Pusat. Salah satu koleksi unggulan di Museum Wayang adalah wayang kulit purwa gaya Surakarta yang juga diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Wayang sebagai salah satu warisan tradisi hidup yang intangible lahir, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia ternyata telah menarik perhatian dunia. Bahasan dari penelitian ini adalah perancangan wayang model baru yang dilakukan Museum Wayang kepada khalayak sasaran anak-anak. Pengunjung anak-anak hampir mendominasi jumlah total pengunjung setiap tahunnya. museum mempunyai peluang besar untuk mengenalkan wayang kepada mereka. Struktur wayang kulit secara konsep diciptakan dinamis untuk digerakkan dan dimainkan, namun memiliki keberjarakan selera visual dan dalam penataan ruang pamer konsep artefak wayang sebagai media yang dinamis tidak dirasakan ruhnya. Naskah lakon Babad Wanamarta yang menggambarkan perjuangan Pandawa diusia remaja dalam memperjuangkan cita-citanya menjadi inspirasi perancangan wayang model baru ini. Pada lakon Babad Wanamarta tokoh Pandawa tergolong masih belia dan menggunakan wanda Jaka Suwarno. Untuk mencapai tujuan perancangan wayang model baru, maka penelitian ini menggunakan metode penelitian campuran (mix method). Di dalam metode penelitian campuran ini menggunakan penggabungan data kualitatif dan kuantitatif. Metode penelitian kualitatif membantu pengumpulan data primer terhadap jenis-jenis wayang beserta ciri-ciri anatomi dan asesori busana melalui dokumentasi, observasi dan deep interview dengan ahli wanda wayang, pengrajin wayang, ketua Museum Wayang dan khalayak sasaran anak-anak. Ditemukan hal-hal menarik bahwa Pandawa lima termasuk dalam tiga jenis wayang berbeda yaitu katongan (Puntadewa dan Permadi), bambangan (Pinten dan Tangsen) dan dugangan (Bratasena). Pada jenis katongan dan bambangan menggunakan ciri-ciri anatomi wajah yang sama dengan fakor pembeda pada gelungan rambut dan asesori busana yang dikenakan. Penelitian lebih berupa penelitian interpretatif dengan menafsirkan data-data yang didapatkan di lapangan. Setelah mendapatkan pemahaman struktur anatomi wayang purwa, maka dilanjutkan tahapan eksperimen berkarya untuk menciptakan konsep wayang model baru yang terinspirasi dari cerita Babad Wanamarta dengan tokoh protagonis Pandawa, untuk kemudian dapat diuji cobakan kepada khalayak sasaran untuk mendapatkan data kuantitatif. Kemudian setelah mengumpulkan data kualitatif dan data kuantitatif, menganalisanya secara terpisah, dan kemudian membandingkan hasil temuan tersebut untuk saling mengonfirmasi. Sebagai temuan akhir adalah wayang Eblek interaktif dalam lakon Babad Wanamarta berbentuk permainan menyusun panel adegan yang dilakukan secara mandiri oleh anak-anak secara berkelompok. Konsep wayang Eblek tersebut dapat diaplikasikan pada pameran temporer di dalam Museum dan pertunjukan interaktif ke sekolah-sekolah sebagai media pendukung program pendidikan luar museum. Rancangan wayang Eblek interaktif merupakan bentuk kritik terhadap konsep Museum Wayang saat ini dan berperan sebagai wahana untuk mengembalikan ruh akar budaya wayang kepada generasi muda yang selama ini tercerabut dan terpenjarakan dalam kotak-kotak kaca dalam museum. Wayang Eblek merupakan strategi tata kelola wayang di Museum Wayang yang dilakukan secara utuh dan terintegrasi sehingga secara intangible dapat meningkatkan brand awareness terhadap museum itu sendiri.