Kolonialisme bangsa Eropa pada abad 17 hingga abad 20 memicu akulturasi
budaya lokal dan Eropa yang berdampak pada kemajuan teknologi di bidang
arsitektur yang terjadi di Hindia Belanda. Pada masa itu, Hindia Belanda
digunakan sebagai laboratorium percobaan guna mendukung munculnya
arsitektur baru, sehingga hal ini menuntut upaya lebih arsitek dalam melakukan
inovasi seni bangunan pada saat itu. Upaya inilah yang kemudian dikenal dengan
sebutan arsitektur Indo-Eropa. Arsitektur Indo-Eropa dirintis oleh Maclaine Pont
dan Thomas Karsten yang sepakat bahwa, arsitektur Indo-Eropa sebaiknya peka
terhadap seni bangunan tradisional Nusantara. Namun, berbeda dengan pendapat
Pont dan Karsten, Wolff Schoemaker beranggapan bahwa arsitektur Eropa tidak
membutuhkan sentuhan lokal di dalamnya. Pemikiran Wolff Schoemaker yang
kontras inilah yang menarik untuk dibahas, disamping ia juga merupakan arsitek
yang sangat produktif di Kota Bandung pada masanya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan pemikiran konseptual C. P. Wolff
Schoemaker tentang bangunan rumah ibadah yang merespons konsep arsitektur
Indo-Eropa dan arsitektur religius melalui ketiga bangunan karyanya yaitu, Gereja
Katedral Santo Petrus (Katolik), Gereja Bethel (Protestan) dan Masjid Raya
Cipaganti (Islam). Bangunan religius dipilih karena dalam ranah arsitektur, fungsi
ini tergolong sebagai penugasan yang sulit dikarenakan harus mencerminkan
keyakinan pengikutnya pada interior dan eksterior bangunannya, serta
menggambarkan filosofi agama yang mendasarinya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini dilakukan melalui empat tahapan
yaitu, pencarian data, verifikasi, analisis dan sintesis serta penulisan sejarah. Hasil
penelitian ini mengungkapkan bahwa proses kreatif Wolff Schoemaker dalam
mewujudkan bangunan peribadatannya dilandasi oleh pola pikir pragmatis dengan
menekankan pada kepraktisan dan kegunaan bangunannya, dibandingkan dengan
nilai-nilai yang dianut oleh umat di dalamnya.