digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Kolonialisme bangsa Eropa pada abad 17 hingga abad 20 memicu akulturasi budaya lokal dan Eropa yang berdampak pada kemajuan teknologi di bidang arsitektur yang terjadi di Hindia Belanda. Pada masa itu, Hindia Belanda digunakan sebagai laboratorium percobaan guna mendukung munculnya arsitektur baru, sehingga hal ini menuntut upaya lebih arsitek dalam melakukan inovasi seni bangunan pada saat itu. Upaya inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan arsitektur Indo-Eropa. Arsitektur Indo-Eropa dirintis oleh Maclaine Pont dan Thomas Karsten yang sepakat bahwa, arsitektur Indo-Eropa sebaiknya peka terhadap seni bangunan tradisional Nusantara. Namun, berbeda dengan pendapat Pont dan Karsten, Wolff Schoemaker beranggapan bahwa arsitektur Eropa tidak membutuhkan sentuhan lokal di dalamnya. Pemikiran Wolff Schoemaker yang kontras inilah yang menarik untuk dibahas, disamping ia juga merupakan arsitek yang sangat produktif di Kota Bandung pada masanya. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan pemikiran konseptual C. P. Wolff Schoemaker tentang bangunan rumah ibadah yang merespons konsep arsitektur Indo-Eropa dan arsitektur religius melalui ketiga bangunan karyanya yaitu, Gereja Katedral Santo Petrus (Katolik), Gereja Bethel (Protestan) dan Masjid Raya Cipaganti (Islam). Bangunan religius dipilih karena dalam ranah arsitektur, fungsi ini tergolong sebagai penugasan yang sulit dikarenakan harus mencerminkan keyakinan pengikutnya pada interior dan eksterior bangunannya, serta menggambarkan filosofi agama yang mendasarinya. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini dilakukan melalui empat tahapan yaitu, pencarian data, verifikasi, analisis dan sintesis serta penulisan sejarah. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa proses kreatif Wolff Schoemaker dalam mewujudkan bangunan peribadatannya dilandasi oleh pola pikir pragmatis dengan menekankan pada kepraktisan dan kegunaan bangunannya, dibandingkan dengan nilai-nilai yang dianut oleh umat di dalamnya.