Inkulturasi sebagai proses pengintegrasian iman kristiani ke dalam budaya setempat
merupakan isu yang diperbincangkan setelah Konsili Vatikan II. Saat ini, studi
tentang inkulturasi arsitektur gereja Katolik membahas hal-hal yang terkait dengan
pembacaan elemen fisik bangunan, namun belum ada yang membahas proses
inkulturasi nilai kristiani yang universal ke dalam arsitektur lokal. Studi ini
mengkaji tulisan fiksi dan non fiksi karya Mangunwijaya, tulisan orang-orang yang
pernah terlibat dalam karya Mangunwijaya, serta wawancara kepada para tukang
dan mahasiswa yang membantu Mangunwijaya dalam praktik arsitektur.
Pandangan Mangunwijaya sebagai rohaniwan, arsitek, dan orang Jawa menjadi titik
tolak pembahasan tentang proses inkulturasi pada gereja Katolik lokal di Jawa
Tengah. Selanjutnya pemikiran Mangunwijaya ditelusuri perwujudannya pada
karya desain bangunan gereja melalui analisis gambar perancangan, foto bangunan,
serta kunjungan ke lapangan dan pengamatan terhadap penggunaan ruang oleh
umat. Perwujudan inkulturasi arsitektur gereja Katolik ke dalam budaya Jawa
mencakup empat konsep, yaitu keterbukaan dan keakraban gereja, nilai humanis
gereja, partisipasi umat yang berhimpun, dan simbol-simbol nilai religius dan nilai
lokal. Masing-masing konsep tersebut diwujudkan Mangunwijaya pada setiap
gerejanya, tetapi dengan ekspresi yang beragam sesuai dengan konteks
bangunannya. Keterbukaan dan keakraban gereja terwujud dalam tampak yang
terbuka dan tidak menonjol, bangunan yang horizontal, penggunaan warna-warna
alami dan netral, dan suasana pencahayaan seperti di dalam rahim. Nilai humanis
gereja terwujud dalam tata ruang dan sirkulasi yang memperhatikan aspek psikologi
umat. Partisipasi umat yang berhimpun terwujud dalam pengaturan perabot yang
fokus mengarah ke altar. Simbol-simbol nilai religius dan nilai lokal terwujud
dalam penempatan gambar dan patung kudus, ornamen, pola tekstur, pemanfaatan
bangunan eksisting, dan pemanfaatan material bekas.