digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Pertumbuhan penduduk Kota Semarang yang pesat tidak diiringi dengan ketersediaan lahan permukiman. Akibat keterbatasan lahan permukiman tersebut, banyak penduduk yang memilih untuk bertempat tinggal di kawasan permukiman kumuh yang ilegal. Sudah banyak upaya pemerintah dalam merevitalisasi kawasan permukiman kumuh agar lebih layak huni. Salah satunya dengan melakukan pengecatan pada Kampung Gunung Brintik yang kemudian dikenal sebagai Kampung Pelangi. Beberapa upaya revitalisasi kampung baik di Indonesia maupun negara lain berhenti dan tidak meningkatkan livelihood penduduknya. Oleh karena itu perlu adanya penelitian mengenai kajian livelihood masyarakat Kampung Pelangi melalui pendekatan Sustainable Urban Livelihood (SUL). Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan skoring. Nilai 3 diberikan untuk jawaban terbaik dan nilai 1 untuk jawaban terburuk. Dalam membandingkan livelihood Kampung Pelangi digunakan 2 (dua) waktu berbeda dan kampung kontrol berupa Kampung Pandean. Hasil menunjukkan bahwa dalam 2 (dua) tahun pelaksanaan program terjadi perubahan livelihood di Kampung Pelangi sebelum implementasi program Pemerintah Kota Semarang tentang penataan kawasan permukiman di pinggir sungai (tahun 2016) dan setelah adanya implementasi program (tahun 2018). Perubahan ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan kualitas livelihood di Kampung Pelangi meliputi Kualitas modal manusia, Kualitas modal alam, Kualitas modal sosial, dan Kualitas modal fisik. Perbandingan kondisi livelihood Kampung Pelangi sebagai salah satu kampung yang sudah mengalami implementasi program Pemerintah Kota Semarang tentang penataan kawasan permukiman di pinggir sungai kondisinya berubah jika dibandingkan dengan Kampung Pandean yang tidak mendapatkan program serupa Kondisi ini dapat dijelaskan berdasarkan perbandingan kelima modal livelihood, hanya terdapat satu modal Kampung Pelangi (Kualitas modal sosial) yang kondisinya lebih buruk sedangkan keempat lainnya (modal manusia, modal alam, modal fisik dan modal manusia) menunjukkan kondisi yang lebih baik jika dibandingkan dengan Kampung Pandean. Akan tetapi perubahan yang terjadi tidak jauh berbeda, dan bukan disebabkan pewarnaan kampung namun karena upaya perbaikan kondisi fisik. Dengan demikian, program Pemerintah Kota Semarang tidak berpengaruh terhadap livelihood penduduk Kampung Pelangi.