digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Food estate merupakan program nasional Pemerintah Indonesia yang dirancang sebagai solusi strategis dalam menghadapi tantangan ketahanan pangan di tengah pertumbuhan penduduk dan perubahan iklim. Konsep food estate dikembangkan melalui pemanfaatan lahan secara optimal yang direvitalisasi dengan teknologi pertanian modern, serta diarahkan untuk menjadi lumbung pangan baru nasional. Namun, implementasinya di berbagai wilayah Indonesia sering menimbulkan pro dan kontra, baik dukungan maupun penolakan dari masyarakat. Kabupaten Merauke, dengan lahan yang luas dan datar, ditetapkan sebagai salah satu lokasi prioritas program food estate di Papua, sehingga diperlukan evaluasi mendalam mengenai potensi, kelayakan, kinerja, serta dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari program tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi program pengembangan food estate di Kabupaten Merauke dengan studi kasus pada Distrik Semangga, Tanah Miring, dan Kurik. Metode penelitian yang digunakan adalah mixed method dengan mengombinasikan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Data dikumpulkan melalui survei lapangan, analisis dokumen, serta wawancara dengan pemangku kepentingan, kemudian dianalisis menggunakan indikator kelayakan dan kinerja. Pendekatan ini dipilih agar evaluasi dapat memberikan gambaran komprehensif terkait keberlanjutan program. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Merauke memiliki potensi wilayah yang strategis untuk pengembangan food estate melalui ketersediaan lahan yang luas, datar, dan sesuai untuk mekanisasi pertanian. Agroklimat savana tropis mendukung produksi padi, jagung, dan kedelai, sementara infrastruktur dasar seperti pelabuhan, bandara, dan jalan relatif tersedia, meskipun kapasitas irigasi masih sangat terbatas. Keterlibatan para pihak meliputi Kementerian Pertanian, Pemerintah Kabupaten Merauke, masyarakat adat, dan petani. Namun demikian, iii program ini masih menghadapi sejumlah kendala berupa minimnya anggaran daerah (<40%), keterbatasan tenaga penyuluh, isu hak ulayat, serta rendahnya partisipasi masyarakat asli Papua (OAP). Dampak pengembangan food estate di Merauke bersifat campuran. Dari sisi sosial, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mengalami peningkatan, tetapi tingkat kemiskinan tetap tinggi dan pengangguran justru meningkat pasca 2022. Dari sisi ekonomi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku meningkat, namun PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan stagnasi sehingga pertumbuhan riil rendah. Migrasi awal ke wilayah ini cukup tinggi, tetapi cenderung stagnan setelah beberapa tahun, dan tenaga kerja lokal belum sepenuhnya dominan dalam rantai produksi. Dari sisi lingkungan, program food estate berpotensi menimbulkan dampak serius seperti deforestasi, degradasi lahan gambut, banjir dan kekeringan, intrusi air laut, hingga ancaman terhadap biodiversitas. Evaluasi kelayakan menunjukkan bahwa ketiga distrik (Semangga, Tanah Miring, dan Kurik) hanya mencapai kategori Cukup Layak Bersyarat. Semangga memenuhi 73% indikator, Tanah Miring 65%, dan Kurik 69%, dengan kelemahan utama pada aspek infrastruktur, teknologi, serta pembiayaan. Evaluasi kinerja menunjukkan hasil yang bervariasi: Distrik Semangga dan Kurik berada pada kategori Baik Bersyarat, sedangkan Distrik Tanah Miring hanya mencapai Sedang Bersyarat. Masalah utama kinerja terkait aspek produksi, distribusi, ekonomi, dan sosial. Kesimpulannya, pengembangan food estate di Kabupaten Merauke memiliki potensi besar tetapi efektivitasnya masih terbatas oleh kendala struktural, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Keberhasilan program sangat bergantung pada tata kelola yang inklusif, berkelanjutan, dan berbasis masyarakat lokal, serta dukungan anggaran daerah yang memadai. Penelitian ini menegaskan bahwa tanpa perbaikan tata kelola dan peningkatan partisipasi masyarakat lokal, keberlanjutan food estate di Merauke akan sulit tercapai.