Food estate merupakan program nasional Pemerintah Indonesia yang dirancang sebagai
solusi strategis dalam menghadapi tantangan ketahanan pangan di tengah pertumbuhan
penduduk dan perubahan iklim. Konsep food estate dikembangkan melalui pemanfaatan
lahan secara optimal yang direvitalisasi dengan teknologi pertanian modern, serta diarahkan
untuk menjadi lumbung pangan baru nasional. Namun, implementasinya di berbagai wilayah
Indonesia sering menimbulkan pro dan kontra, baik dukungan maupun penolakan dari
masyarakat. Kabupaten Merauke, dengan lahan yang luas dan datar, ditetapkan sebagai salah
satu lokasi prioritas program food estate di Papua, sehingga diperlukan evaluasi mendalam
mengenai potensi, kelayakan, kinerja, serta dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari
program tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi program pengembangan food
estate di Kabupaten Merauke dengan studi kasus pada Distrik Semangga, Tanah Miring, dan
Kurik. Metode penelitian yang digunakan adalah mixed method dengan mengombinasikan
pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Data dikumpulkan melalui survei lapangan, analisis
dokumen, serta wawancara dengan pemangku kepentingan, kemudian dianalisis
menggunakan indikator kelayakan dan kinerja. Pendekatan ini dipilih agar evaluasi dapat
memberikan gambaran komprehensif terkait keberlanjutan program. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Merauke memiliki potensi wilayah yang strategis untuk pengembangan
food estate melalui ketersediaan lahan yang luas, datar, dan sesuai untuk mekanisasi
pertanian. Agroklimat savana tropis mendukung produksi padi, jagung, dan kedelai,
sementara infrastruktur dasar seperti pelabuhan, bandara, dan jalan relatif tersedia, meskipun
kapasitas irigasi masih sangat terbatas. Keterlibatan para pihak meliputi Kementerian
Pertanian, Pemerintah Kabupaten Merauke, masyarakat adat, dan petani. Namun demikian,
iii
program ini masih menghadapi sejumlah kendala berupa minimnya anggaran daerah (<40%),
keterbatasan tenaga penyuluh, isu hak ulayat, serta rendahnya partisipasi masyarakat asli
Papua (OAP). Dampak pengembangan food estate di Merauke bersifat campuran. Dari sisi
sosial, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mengalami peningkatan, tetapi tingkat
kemiskinan tetap tinggi dan pengangguran justru meningkat pasca 2022. Dari sisi ekonomi,
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku meningkat, namun PDRB
atas dasar harga konstan menunjukkan stagnasi sehingga pertumbuhan riil rendah. Migrasi
awal ke wilayah ini cukup tinggi, tetapi cenderung stagnan setelah beberapa tahun, dan
tenaga kerja lokal belum sepenuhnya dominan dalam rantai produksi. Dari sisi lingkungan,
program food estate berpotensi menimbulkan dampak serius seperti deforestasi, degradasi
lahan gambut, banjir dan kekeringan, intrusi air laut, hingga ancaman terhadap biodiversitas.
Evaluasi kelayakan menunjukkan bahwa ketiga distrik (Semangga, Tanah Miring, dan Kurik)
hanya mencapai kategori Cukup Layak Bersyarat. Semangga memenuhi 73% indikator,
Tanah Miring 65%, dan Kurik 69%, dengan kelemahan utama pada aspek infrastruktur,
teknologi, serta pembiayaan. Evaluasi kinerja menunjukkan hasil yang bervariasi: Distrik
Semangga dan Kurik berada pada kategori Baik Bersyarat, sedangkan Distrik Tanah Miring
hanya mencapai Sedang Bersyarat. Masalah utama kinerja terkait aspek produksi, distribusi,
ekonomi, dan sosial. Kesimpulannya, pengembangan food estate di Kabupaten Merauke
memiliki potensi besar tetapi efektivitasnya masih terbatas oleh kendala struktural, sosial,
ekonomi, dan lingkungan. Keberhasilan program sangat bergantung pada tata kelola yang
inklusif, berkelanjutan, dan berbasis masyarakat lokal, serta dukungan anggaran daerah yang
memadai. Penelitian ini menegaskan bahwa tanpa perbaikan tata kelola dan peningkatan
partisipasi masyarakat lokal, keberlanjutan food estate di Merauke akan sulit tercapai.
Perpustakaan Digital ITB