2007 TS PP ADREYAN YUDISTIRA 1-COVER.pdf
PUBLIC Open In Flip Book Perpustakaan Prodi Arsitektur 2007 TS PP ADREYAN YUDISTIRA 1-BAB 1.pdf
PUBLIC Open In Flip Book Perpustakaan Prodi Arsitektur 2007 TS PP ADREYAN YUDISTIRA 1-BAB 2.pdf
PUBLIC Open In Flip Book Perpustakaan Prodi Arsitektur 2007 TS PP ADREYAN YUDISTIRA 1-BAB 3.pdf
PUBLIC Open In Flip Book Perpustakaan Prodi Arsitektur 2007 TS PP ADREYAN YUDISTIRA 1-BAB 4.pdf
PUBLIC Open In Flip Book Perpustakaan Prodi Arsitektur 2007 TS PP ADREYAN YUDISTIRA 1-BAB 5.pdf
PUBLIC Open In Flip Book Perpustakaan Prodi Arsitektur 2007 TS PP ADREYAN YUDISTIRA 1-BAB 6.pdf
PUBLIC Open In Flip Book Perpustakaan Prodi Arsitektur 2007 TS PP ADREYAN YUDISTIRA 1-BAB 7.pdf
PUBLIC Open In Flip Book Perpustakaan Prodi Arsitektur 2007 TS PP ADREYAN YUDISTIRA 1-PUSTAKA.pdf
PUBLIC Open In Flip Book Perpustakaan Prodi Arsitektur
Meski bahasa yang digunakan arsitektur dan musik berbeda, namun keduanya memiliki motif berkesenian yang sama, yaitu pencarian makna keindahan yang tiada akhir, untuk memenuhi kerinduan manusia akan nilai-nilai puitis yang tertanam dalam di lubuk sanubarinya. Melalui penjelajahan imajinatif karya musik klasik Fifth Symphony gubahan Ludwig van Beethoven, tesis desain ini mencoba untuk mentranformasikan sensasi audial (berupa nada, irama, tempo, durasi, gerakan) ke dalam manifestasi ujud arsitektural (bentuk, material, densitas, warna, tekstur), dengan bantuan pendekatan historis kontekstual, analogi dan metafora.
Cahaya merupakan inspirasi pertama yang terbersit dari karya the Fifth Symphony. Melalui proses interpretasi dan iterasi berulang, inspirasi tersebut selanjutnya diperkaya dengan asosiasi analogis dan metaforis, sehingga akhirnya dicapai suatu komposisi arsitektural yang utuh bagi sebuah gedung konser. Komposisi arsitektural tersebut pada akhirnya bukanlah representasi naif dari Fifth Symphony gubahan Ludwig van Beethoven, tetapi merupakan karya mandiri (autonomous) yang spiritnya diilhami oleh Fifth Symphony gubahan Ludwig van Beethoven.
Konteks kesejarahan lahan (Jaarbeurs, Taman Maluku dan Gelora Saparua) telah membimbing proses penjelajahan desain arsitektural pada upaya penciptaan kembali the sense of place, berupa sebuah taman tropis yang menawarkan kesejukan, serta sebuah concert hall tempat manusia menjernihkan batin atau berkontemplasi. Sekuens pengalaman ruang dan ritual apresiasi pagelaran musik klasik sangat mengilhami bagaimana lahan dan ruang luar ditata, sehingga dicapai solusi desain arsitektural yang puitik dan holistik.