digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Adanya PP No.18 Tahun 2012 yang mensyaratkan bahwa pemerintah daerah wajib mengubah sistem persampahannya menjadi berwawasan lingkungan, membuat pemerintah-pemerintah daerah/kota mengubah TPS di daerah mereka menjadi Stasiun Peralihan Antara (SPA). Contoh perubahan tersebut adalah SPA Tegalega di Bandung dan SPA Sangkuriang di Cimahi. SPA adalah unit pengolahan sampah yang memiliki keuntungan pengurangan biaya pengangkutan sebagai keuntungan dari segi finansialnya dan kurangnya ruang yang dibutuhkan pada TPA sebagai keuntungan dari segi lingkungannya. Prosesnya pada umumnya dengan mengkompaksi sampah melalui mesin compactor sehingga densitas sampah meningkat. Penelitian dimulai dengan survey pendahuluan untuk melihat kondisi SPA, lalu pengumpulan data, analisis dan dihasilkan output berupa efektivitas SPA. Pada penelitian ditemukan volume yang masuk ke SPA Tegalega sebesar 127,98 m3/hari dan SPA Sangkuriang sebesar 57,52 m3/hari. Sampah yang masuk mayoritas seperti sampah di Indonesia pada umumnya, yaitu berupa sisa makanan (59 persen). Pada SPA Sangkuriang, reduksi volume yang terjadi sebesar 34,3 persen. Sedangkan SPA Tegalega dapat mengurangi volume yang masuk ke TPA sebesar 42,8 persen dan 2,45 persen secara berat. Secara ekonomi keberadaan SPA terbukti efektif pada SPA Tegalega. Hal ini dibuktikan dengan reduksi biaya 16,48 persen dibanding saat menjadi TPS secara satuan volume dan 17,16 persen secara satuan berat. Reduksi tersebut berasal dari pengurangan biaya transportasi akibat peningkatan densitas sampah yang dibawa oleh pengangkut. Kenaikan densitas setelah sampah dikompaksi adalah 176,04 kg/m3 dari 103,27 kg/m3 sebelum dikompaksi pada SPA Tegalega. Dengan kekuatan tekanan kompaksi sebesar 3045 psi, secara umum hasil efektivitas SPA masih dibawah proses sejenis pada literatur.