Keberlanjutan dalam konversi energi mengangkat pertanyaan filosofis tentang apakah harus memprioritaskan ekstraksi atau melestarikannya untuk masa depan. Sejak revolusi industri, bahan bakar fosil telah meningkatkan emisi karbon ke tingkat tertinggi. Penting untuk menguranginya karena dampak perubahan iklim terhadap lingkungan. Harga bahan bakar fosil yang berfluktuasi meningkatkan ketidakpastian dalam penyediaan energi. Energi terbarukan seperti panas bumi menyediakan sumber yang lebih stabil dan berkelanjutan. Target Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca (GRK) cukup ambisius. Salah satu langkahnya adalah mengurangi ketergantungan pada batu bara dan menggantinya secara bertahap dengan energi terbarukan. Indonesia memiliki sumber daya panas bumi terbesar di dunia. Namun, pengembangan sumber daya ini membutuhkan pendanaan yang besar dan dapat diandalkan. Indonesia mengalami penurunan investasi sejak satu dekade terakhir. Kelayakan finansial proyek panas bumi menjadi salah satu tantangan yang harus diatasi. Studi ini mengintegrasikan analisis Arus Kas Terdiskontokan (DCF) konvensional dengan Valuasi Real Options (ROV) untuk menilai kelayakan proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi yang menggunakan dua teknologi berbeda: Flash Condensing (FC) dan Two-Phase Binary (TPB), selain itu juga mempertimbangkan alternatif pendapatan tambahan yang dari kredit karbon. Dengan tingkat diskonto sebesar 8%, FC menunjukkan kinerja finansial yang lebih unggul dibandingkan TPB. Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa IRR dari kedua teknologi sangat dipengaruhi oleh suku bunga, CAPEX pengeboran eksploitasi dan eksplorasi, serta OPEX dan biaya lainnya. FC menunjukkan ketahanan yang lebih stabil terhadap variasi arus kas ±10%, menjadikannya teknologi yang layak saat ini. Namun, TPB memiliki potensi untuk meningkatkan nilai evaluasi investasinya, jika biaya dapat dikurangi dan terdapat implementasi pasar internasional sukarela untuk kredit karbon. TPB dapat menjadi lebih layak jika harga kredit karbon meningkat setidaknya menjadi $7.4/tCO2e. Teknologi FC menawarkan peluang ekspansi dengan memanfaatkan brine panas yang masih bisa dikonversi menjadi energi. Opsi ekspansi, yang dimodelkan menggunakan model opsi call Eropa Black-Scholes dan model Binomial Lattice, dapat meningkatkan ENPV proyek hingga sekitar $3.86M untuk FC-1 dan $16.80M untuk FC-2. Nilai opsi yang diperoleh diuji sensitivitas menggunakan simulasi Monte Carlo dengan memvariasikan biaya implementasi ($20-60M) dan volatilitas (10-50%) sebagai parameter acak. Parameter tetap yang ditetapkan adalah tingkat bebas risiko (r) dan jatuh tempo opsi. Model Black-Scholes-Merton dijalankan 100.000 kali. Nilai opsi maksimum $17.28M dihasilkan dari biaya terendah ($20M) dan volatilitas tertinggi (? = 45%). Sebaliknya, nilai opsi minimum $0.02M berasal dari biaya tertinggi ($58M) dan volatilitas terendah (? = 10%). Ini menunjukkan bahwa proyek ekspansi masih memiliki nilai substansial dengan volatilitas sedang dan biaya yang paling mungkin. Opsi terbaik saat ini adalah memprioritaskan Flash Condensing sebagai proyek utama. Teknologi juga menawarkan potensi tambahan untuk menghasilkan listrik menggunakan binary unit dari fluida brine yang masih memiliki panas untuk dikonversi. Two-Phase Binary juga memberikan keuntungan dengan mengurangi jumlah sumur walaupun masih membutuhkan optimasi pada biaya teknologi pembangkit listriknya. Studi ini memberikan fleksibilitas dan kerangka kerja yang kuat untuk ketidakpastian terkait pengambilan keputusan di tingkat manajemen atas. Selain itu, akan mendukung pengembangan industri panas bumi di Indonesia, transisi energi global, dan pencapaian target Net Zero Emission.
Perpustakaan Digital ITB