digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK_Rashif Imaduddin Luqman
PUBLIC Open In Flipbook Perpustakaan Prodi Arsitektur

Mekanisme spasial yang mendasari produksi risiko penyebaran Demam Berdarah Dengue (DBD) di kota-kota padat seperti Bandung sering kali luput dari analisis epidemiologi konvensional. Penelitian ini mengisi kesenjangan tersebut dengan mengkaji hubungan antara perkembangan hunian dan peningkatan risiko DBD melalui lensa arsitektural. Tujuannya adalah untuk membongkar bagaimana keputusan desain dan adaptasi hunian pada skala mikro, yang didorong oleh dinamika sosial-ekonomi, secara kumulatif membentuk risiko kesehatan pada skala makro. Fokus utama adalah pada terbentuknya ruang negatif, celah sempit, area yang selalu ternaungi dan lembap, serta sudut-sudut yang sulit diakses di antara bangunan, yang secara tidak sengaja berfungsi sebagai mikrohabitat ideal bagi nyamuk Aedes aegypti untuk beristirahat dan berkembang biak. Dengan demikian, penelitian ini melihat proses arsitektural yang bersifat bottom-up dan informal secara sistematis merekayasa sebuah niche ekologis yang efisien bagi vektor penyakit. Mengadopsi pendekatan studi kasus komparatif kualitatif, penelitian ini menganalisis tiga kawasan permukiman di Bandung (RT 1, RT 2, dan RT 6 di Kelurahan Cisaranten Endah) dengan latar belakang sosio-demografi dan ekonomi, serta latar belakang pembentukan yang berbeda. Dengan menggunakan analisis spasial-historis dan naratif arsitektural, perubahan fisik lingkungan dilacak dari waktu ke waktu. Kerangka teoretis penelitian ini menggabungkan dua lensa analitis yang saling melengkapi. Teori Penyesuaian Hunian dari Morris & Winter digunakan terlebih dahulu untuk menjelaskan motivasi di balik praktik spasial, dengan memahaminya sebagai respons terstruktur terhadap “defisit hunian”, kesenjangan antara kondisi hunian yang ada dengan norma fungsional, sosial, dan ekonomi yang terus berkembang. Selanjutnya, Teori Produksi Ruang dari Lefebvre digunakan untuk memposisikan penghuni bukan sebagai subjek pasif, melainkan sebagai subjek aktif yang secara terus-menerus memproduksi dan mereproduksi ruang hidup mereka. Temuan utama mengidentifikasi tiga pendekatan adaptasi yang berbeda. Pertama, adaptasi berbasis kebutuhan (necessity-driven) ditemukan di RT 1, di mana tekanan demografis dari keluarga multi-generasi dan keterbatasan ekonomi yang ekstrem mendorong ekspansi horizontal yang seragam. Praktik ini, seperti penutupan saluran brandgang untuk perluasan dapur, secara kolektif mendegradasi infrastruktur formal dan menciptakan koridor-koridor lembap yang panjang. Kedua, adaptasi berbasis aspirasi (aspiration-driven) mendominasi di RT 2, di mana dinamika pasar properti dan status sosial pendatang baru memicu intervensi penghuni yang masif, seperti renovasi. Hal ini menyebabkan fragmentasi spasial, erosi modal sosial, dan munculnya kantong-kantong bayangan yang ekstrem di antara bangunan dengan skala yang berbeda. Ketiga, adaptasi berbasis kualitas hidup (quality-of-life-driven) menjadi karakteristik RT 6, di mana kegagalan institusional dijawab dengan tindakan kolektif kelas menengah yang membangun infrastruktur informal. Meskipun fungsional, proses organik ini menciptakan celah-celah teknis dan saluran air yang tidak terintegrasi, yang menjadi ruang sisa tersembunyi. Secara signifikan, penelitian ini mengungkap adanya prinsip konvergensi morfologis. Meskipun didorong oleh motivasi yang berbeda, ketiga jalur perkembangan ini secara tak terduga bertemu pada bentuk urban yang sama-sama padat, minim porositas, dan sangat ternaungi. Pada tahun 2025, rasio area ternaungi di ketiga lokasi hampir identik, berkisar antara 75% hingga 81%. Konfigurasi spasial ini secara sistematis meningkatkan potensi habitat nyamuk. Penelitian ini memberikan kontribusi dengan melengkapi kerangka kerja yang memposisikan arsitektur sebagai praktik kesehatan masyarakat yang fundamental. Dengan mengungkap bagaimana keputusan desain skala mikro memiliki dampak terukur pada ekologi vektor, studi ini menawarkan kerangka kerja analitis bagi arsitek dan perencana. Pemahaman ini krusial untuk merancang intervensi dan tipologi hunian yang lebih adaptif dan sadar akan konsekuensi spasial-ekologisnya, sehingga dapat memitigasi risiko kesehatan secara proaktif langsung dari sumbernya lingkungan binaan itu sendiri.