digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Kestabilan suatu lereng umumnya dilakukan secara 2D karena dinilai lebih sederhana daripada 3D. Dengan demikian, hanya sedikit analisis dilakukan secara 3D. Akan tetapi, jika dilihat dari asumsi lebar lereng analisis 2D dapat menjadi tidak representatif karena asumsi lebar lereng tak terbatas. Dengan menganalisis secara 3D hasil yang didapat lebih dapat dipercaya karena memperhitungkan batasan akhir lebar bidang longsor. Selain itu volume dari potensi bidang longsor pun dapat diestimasi sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan tindakan selanjutnya sesuai dengan fungsi lereng. Hasil penelitian ini membuktikan lebar lereng 3D sangat berpengaruh terhadap geometri lereng 2D, dimana hasil FK 2D baru hampir sama dengan FK 3D dapat diterima apabila rasio antara lebar (W) dengan tinggi (H) yaitu: tinggi 3 m dan 6 m rasio W/H sebesar 3,3, tinggi 12 m rasio W/H sebesar 2,5, dan tinggi 24 m rasio W/H sebesar 2,1 dengan material limonit, saprolit dan bedrock. Hasil FK 3D lebih besar dari FK 2D hal ini juga disebabkan oleh adanya pengaruh rasio lebar lereng dengan tinggi lereng. Dalam analisis 2D, besar lebar lereng dianggap tak terbatas (bidang lonsoran busur tak terbatas), sedangkan dalam analisis 3D besar lebar lereng memiliki batasan (bidang longsoran berbentuk 1/4 bola). Dengan demikian hasil yang diperoleh pasti berbeda, baik besar nilai FK maupun lokasi bidang longsornya. Geometri hasil penelitian ini diaplikasikan di PT Gag Nikel. Berdasarkan hasil analisis dengan geometri tinggi lereng 24 m, lebar 96 m, dengan sudut 320 didapatkan FK 3D sebesar 1,28 dengan PoF 13%, FK 2D sebesar 1,25 dengan PoF 13,7% dan volume potensi longsoran yang didapat yaitu 25.952 m3.