Kestabilan suatu lereng umumnya dilakukan secara 2D karena dinilai lebih sederhana
daripada 3D. Dengan demikian, hanya sedikit analisis dilakukan secara 3D. Akan
tetapi, jika dilihat dari asumsi lebar lereng analisis 2D dapat menjadi tidak
representatif karena asumsi lebar lereng tak terbatas. Dengan menganalisis secara 3D
hasil yang didapat lebih dapat dipercaya karena memperhitungkan batasan akhir
lebar bidang longsor. Selain itu volume dari potensi bidang longsor pun dapat
diestimasi sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
pengambilan keputusan tindakan selanjutnya sesuai dengan fungsi lereng.
Hasil penelitian ini membuktikan lebar lereng 3D sangat berpengaruh terhadap
geometri lereng 2D, dimana hasil FK 2D baru hampir sama dengan FK 3D dapat
diterima apabila rasio antara lebar (W) dengan tinggi (H) yaitu: tinggi 3 m dan 6 m
rasio W/H sebesar 3,3, tinggi 12 m rasio W/H sebesar 2,5, dan tinggi 24 m rasio W/H
sebesar 2,1 dengan material limonit, saprolit dan bedrock. Hasil FK 3D lebih besar
dari FK 2D hal ini juga disebabkan oleh adanya pengaruh rasio lebar lereng dengan
tinggi lereng. Dalam analisis 2D, besar lebar lereng dianggap tak terbatas (bidang
lonsoran busur tak terbatas), sedangkan dalam analisis 3D besar lebar lereng
memiliki batasan (bidang longsoran berbentuk 1/4 bola). Dengan demikian hasil
yang diperoleh pasti berbeda, baik besar nilai FK maupun lokasi bidang longsornya.
Geometri hasil penelitian ini diaplikasikan di PT Gag Nikel. Berdasarkan hasil
analisis dengan geometri tinggi lereng 24 m, lebar 96 m, dengan sudut 320
didapatkan
FK 3D sebesar 1,28 dengan PoF 13%, FK 2D sebesar 1,25 dengan PoF 13,7% dan
volume potensi longsoran yang didapat yaitu 25.952 m3.
Perpustakaan Digital ITB