Sistem kelistrikan di wilayah kepulauan Indonesia masih menghadapi keterbatasan mendasar akibat beroperasi dalam bentuk isolated grid yang sangat bergantung pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Kondisi ini tidak hanya menimbulkan biaya pokok penyediaan listrik yang tinggi, tetapi juga meningkatkan kerentanan pasokan akibat ketergantungan pada distribusi bahan bakar minyak. Pulau Lembata di Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu contoh nyata, di mana pasokan listrik saat ini didominasi oleh PLTD Lamahora dan Omesuri dengan tambahan kapasitas kecil PLTS Ile Ape. Untuk mengatasi permasalahan ini, dokumen RUPTL PLN 2025–2034 merencanakan pembangunan PLTP Atadei 2 × 5 MW yang ditargetkan beroperasi pada tahun 2030, disertai dengan PLTS 2 × 3 MW yang didukung Battery Energy Storage System (BESS).
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi integrasi PLTP Atadei ke dalam sistem distribusi 20 kV Pulau Lembata dengan proyeksi beban tahun 2030. Metode yang digunakan adalah Quasi-Dynamic Load Flow (QDLF) berbasis DIgSILENT PowerFactory, yang mampu memodelkan variasi beban harian selama 24 jam. Analisis dilakukan terhadap tiga skenario utama integrasi PLTP, serta optimasi lokasi PLTS menggunakan metode Loss Sensitivity Index (LSI). Parameter teknis yang dievaluasi meliputi susut energi, profil tegangan, ramp rate PLTP, dan minimum output.
Penelitian ini menggunakan 3 skenario dengan Skenario 1 dimana PLTP dihubungkan secara radial melalui gardu hubung eksisting dimana masing-masing
PLTD masih beroperasi secara radial (terpisah). Skenario 2 dimana Operasi radial seperti Skenario 1 dengan pengalihan penyulang Atadei langsung dari PLTP Atadei 2 dan penyulang Lamalera langsung dari PLTP Atadei. Skenario 3 dengan PLTP diintegrasikan ke dalam sistem secara penuh dengan konfigurasi interkoneksi, sehingga kedua unit dapat beroperasi secara paralel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa integrasi PLTP paling optimal pada Skenario 3 (full interkoneksi) dengan konfigurasi terbaik dicapai ketika PLTP dioperasikan pada set point 2 × 2 MW untuk proyeksi kebutuhan beban 2030 sebagai baseload. Konfigurasi ini mampu menjaga profil tegangan seluruh bus pada rentang standar SPLN (0,90–1,05 p.u.), dengan susut energi lebih rendah dibandingkan skenario radial. Sementara itu, untuk penetrasi energi surya, hasil optimasi LSI menunjukkan bahwa PLTS paling optimal dibatasi pada kapasitas 1 × 3 MW, dengan titik integrasi terbaik di bus PLTD Lamahora. Pada kombinasi PLTP 2 × 2 MW sebagai load following/fleksibel, PLTS 3 MW, dan PLTD sebagai residual load following, rugi-rugi energi harian tercatat hanya sekitar 4,19%, ramp rate PLTP < ±0,1 MW/menit, dan minimum output PLTP tetap di atas 0,75 MW.
Sehingga PLTP Atadei 2 × 5 MW layak dikembangkan dengan dua pendekatan: sebagai baseload pada skenario interkoneksi penuh dengan set point 2 × 2 MW pada tahun 2030, serta sebagai pembangkit fleksibel (load following) pada sistem isolated yang dipadukan dengan PLTS 1 × 3 MW. Konfigurasi ini terbukti memberikan keseimbangan terbaik antara efisiensi energi, kestabilan tegangan, dan fleksibilitas operasional, sehingga menjadikan PLTP Atadei sebagai tulang punggung transisi energi bersih di sistem isolated kepulauan.
Perpustakaan Digital ITB