Urbanisasi di Indonesia berlangsung sangat pesat dalam beberapa dekade terakhir, ditandai dengan meningkatnya jumlah penduduk yang bermigrasi ke kawasan perkotaan. Pertumbuhan ini menimbulkan kebutuhan akan hunian yang layak, sementara backlog perumahan masih tinggi. Sebagai respons, pemerintah mempercepat pembangunan rumah susun atau rusun untuk menjawab kebutuhan perumahan hunian ini. Namun, pembangunan rusun secara masif juga membawa konsekuensi negatif berupa tingginya konsumsi energi dan air, serta meningkatnya emisi karbon yang memperburuk isu perubahan iklim. Kondisi ini menimbulkan urgensi untuk mengadopsi pendekatan pembangunan berkelanjutan yang tidak hanya menyediakan hunian, tetapi juga menjaga keseimbangan lingkungan.
Salah satu pendekatan yang banyak dibicarakan adalah penerapan konsep Bangunan Gedung Hijau (BGH). BGH menekankan prinsip efisiensi energi, konservasi air, penggunaan material ramah lingkungan, dan penciptaan kenyamanan ruang bagi penghuninya. Secara global, konsep ini sudah diterapkan melalui berbagai sistem sertifikasi seperti LEED di Amerika Serikat, BREEAM di Inggris, serta EDGE yang banyak digunakan di negara berkembang. Indonesia memiliki sistem sendiri yang diatur melalui regulasi Kementerian PUPR dengan tiga tingkatan sertifikasi: Pratama (dasar), Madya (menengah), dan Utama (lanjutan). Namun, implementasi BGH di rumah susun menghadapi tantangan utama berupa biaya investasi tambahan yang relatif tinggi serta belum adanya mandatori implementasi.
Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan model penerapan BGH pada pembangunan rumah susun berbasis analisis biaya-manfaat (Cost Benefit Analysis/CBA). Pendekatan penelitian dibagi ke dalam lima tahap yang saling melengkapi. Tahap pertama berfokus pada analisis regulasi dengan mengidentifikasi arah pengembangan regulasi terkait BGH di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa regulasi Bangunan Gedung Hijau (BGH) di Indonesia belum secara spesifik mengatur hunian vertikal. Kemudian arah pengembangan dibagi ked alam aspek organisasi, aspek bangunan, sistem mandatori, dan sistem insentif. Tahap kedua menilai tingkat ketercapaian sertifikasi dan perolehan poin penilaian kinerja BGH pada proyek pembangunan rumah susun melalui studi kasus. Empat dari lima rumah susun studi kasus memenuhi level minimum (Pratama), satu proyek lainnya mencapai level Madya.
Tahap ketiga mengevaluasi besaran tambahan biaya investasi yang diperlukan pada setiap level penilaian kinerja BGH dalam proyek pembangunan rumah susun. Evaluasi dilakukan dengan mengelompokkan biaya standar (biaya yang harus dipenuhi dalam proyek konstruksi konvensional) dan biaya non-standar (biaya tambahan terkait dengan pemenuhan kriteria penilaian BGH). Hasilnya menunjukkan bahwa tambahan biaya investasi berkisar 10%–33% dari total biaya konstruksi, dengan kriteria efisiensi energi sebagai komponen terbesar. Tahap keempat berfokus pada pengukuran manfaat dari implementasi BGH, terutama penghematan energi listrik dan penggunaan air. Proyeksi simulasi menunjukkan seluruh studi kasus memiliki intensitas konsumsi energi (IKE) sangat efisien, yaitu 4,31–5,61 kWh/m²/bulan. Manfaat ekonomi yang diperoleh antara lain potensi penghematan energi sekitar Rp116 juta per tahun dan air sekitar Rp69 juta per tahun.
Tahap kelima mengembangkan model analisis biaya-manfaat menggunakan dua pendekatan, yakni deterministik dan probabilistik. Pendekatan deterministik meliputi perhitungan Net Present Value (NPV), Benefit-Cost Ratio (BCR), dan payback period dari rumah susun studi kasus, sedangkan pendekatan probabilistik menggunakan simulasi Monte Carlo untuk melihat variasi risiko dan ketidakpastian. Hasil analisis menunjukkan bahwa level Pratama adalah opsi paling feasible secara finansial, karena biaya tambahan relatif rendah sementara manfaat dapat menutupi sebagian besar investasi. Sebaliknya, level Madya dan Utama membutuhkan strategi optimasi biaya dan dukungan insentif, misalnya dalam bentuk subsidi, keringanan pajak, atau skema pembiayaan hijau, agar layak secara ekonomi.
Temuan penelitian ini memiliki implikasi penting bagi para pemangku kepentingan. Bagi pengembang, hasil ini memberikan gambaran realistis mengenai besaran biaya dan manfaat yang dapat diharapkan dari penerapan BGH. Bagi pemerintah, hasil ini menegaskan pentingnya kehadiran regulasi yang lebih spesifik untuk hunian vertikal serta kebijakan insentif yang mampu menekan beban biaya awal. Bagi masyarakat, penerapan BGH berarti mendapatkan hunian yang lebih nyaman, sehat, dan hemat energi. Jika strategi ini dijalankan, rumah susun tidak hanya berfungsi sebagai solusi atas backlog perumahan, tetapi juga sebagai bagian dari upaya transisi menuju pembangunan rendah karbon.
Sebagai kesimpulan, penelitian ini menegaskan bahwa penerapan konsep Bangunan Gedung Hijau pada rumah susun berbasis analisis biaya-manfaat dapat menjadi acuan strategis bagi Indonesia. Level Pratama layak dijadikan titik masuk karena realistis secara finansial. Sementara itu, level Madya dan Utama dapat diposisikan sebagai target jangka panjang yang membutuhkan dukungan kebijakan, inovasi teknologi, serta keterlibatan semua pihak. Dengan langkah bertahap tersebut, rumah susun hijau berpotensi menjadi solusi yang tidak hanya menyelesaikan masalah perumahan, tetapi juga mendukung agenda pembangunan berkelanjutan dan mitigasi perubahan iklim di Indonesia.
Perpustakaan Digital ITB