digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

COVER Ranto Bagus Sihombing
PUBLIC Open In Flipbook Roosalina Vanina Viyazza

BAB 1 Ranto Bagus Sihombing
PUBLIC Open In Flipbook Roosalina Vanina Viyazza

BAB 2 Ranto Bagus Sihombing
PUBLIC Open In Flipbook Roosalina Vanina Viyazza

BAB 3 Ranto Bagus Sihombing
PUBLIC Open In Flipbook Roosalina Vanina Viyazza

BAB 4 Ranto Bagus Sihombing
PUBLIC Open In Flipbook Roosalina Vanina Viyazza

BAB 5 Ranto Bagus Sihombing
PUBLIC Open In Flipbook Roosalina Vanina Viyazza

PUSTAKA Ranto Bagus Sihombing
PUBLIC Open In Flipbook Roosalina Vanina Viyazza

PT Borneo Indobara (BIB) adalah perusahaan tambang PKP2B generasi kedua yang memiliki luas konsesi 24.100 hektar dan ijin hingga tahun 2036. BIB tumbuh menjadi salah satu perusahaan tambang terbesar di Indonesia dari sisi produksi batubara dengan mencatatkan produksi batubara sebesar 42,1 Juta Ton pada tahun 2023. BIB terus bertumbuh dan merencanakan tingkat produksi lebih dari 50 Juta ton batubara mulai tahun 2025. Akan tetapi, rencana ini mendapat tantangan dari berupa keterbatasan kapasitas jalan hauling yang dimiliki perusahaan. Berdasarkan hasil studi internal yang dilakukan perusahaan, kapasitas jalan hauling yang dimiliki perusahaan adalah 4,3 juta ton batubara per bulan Jika kapasitas jalan hauling dibandingkan dengan rencana produksi 2025 sebesar 50,29 juta ton batubara yang dimiliki perusahaan maka akan terdapat gap sebesar 1,13 juta ton batubara. Jika kondisi ini tidak diselesaikan maka perusahaan tidak akan bisa mencapai target yang direncanakan. Berdasarkan hasil root cause analysis, tantangan yang dialami oleh perusahaan disebabkan penggunaan truk hauling kapasitas 20 ton sehingga kapasitas jalan hauling menjadi terbatas. Penggantian truk hauling yang ada dengan kapasitas lebih besar menjadi solusi untuk permasalahan perusahaan. Terdapat 3 pilihan truk yang dipertimbangkan perusahaan yaitu Mercedes-Benz Arocs 4845K, FAW HD420DT dan Scania P460 LA. Sehingga permasalahan perusahaan selanjutnya adalah mengidentifikasi pilihan paling efektif untuk mendukung rencana produksi perusahaan dengan biaya paling efisien serta menentukan bagaimana transisinya berjalan. Dalam mengidentifikasi pilihan truk terbaik bagi BIB, penulis menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) dan Life Cycle Cost (LCC). AHP digunakan untuk menilai efektivitas pilihan dengan menggunakan beberapa kriteria seperti kapasitas, perawatan, kecepatan, dan spesifikasi alat yang terbagi atas tipe buang dan daya kuda per ton. LCC digunakan untuk menilai efisiensi biaya pilihan dari sisi biaya kepemilikan dan biaya operasional. Dalam melakukan penilaian, penulis melakukan wawancara dengan pihak yang berkompeten. Penilaian AHP dilaksanakan dengan BU Head, CLORM Division Head, ROM & Hauling Departemen Head dan RM Departemen Head. Penilaian LCC dilaksanakan dengan distributor dan ROM & Hauling Departemen Head. Hasil akhir kemudian dikonsolidasi dengan benefit cost ratio (BCR) untuk mendapatkan pilihan truk terbaik bagi perusahaan. Hasil BCR memperlihatkan bahwa FAW HD420DT merupakan pilihan terbaik bagi perusahaan. FAW HD420 DT mengungguli Mercedes-Benz Arocs 4845K dan Scania P460 LA Dari sisi efektivitas, FAW mendapat nilai 57% sedangkan Mercedes-Benz mendapat nilai 56% dan Scania mendapat nilai 28%. Dari sisi efisiensi biaya, biaya produksi FAW sebesar IDR 1.085/Ton.KM lebih rendah dari biaya produksi Mercedes-Benz sebesar IDR 1.244/Ton.KM meskipun sedikit lebih tinggi dari biaya produksi Scania sebesar IDR 1.002/Ton.KM. Transisi truk yang ada dengan FAW HD420 DT dilaksanakan sepanjang tahun 2025 hingga pertengahan 2028. Selama transisi berjalan, perusahaan akan menggunakan jalan angkut milik pihak ketiga untuk sebagian kegiatannya sementara waktu. Penggantian truk yang ada dengan FAW memampukan perusahaan untuk mengatasi kendala keterbatasan kapasitas jalan hauling sehingga rencana produksi perusahaan pada tingkat produksi diatas 50 Juta ton batubara per tahun dapat dicapai. Dari sisi biaya, penggantian truk yang ada dengan FAW akan mengurangi harga pokok penjualan perusahaan hingga 60 Milyar Rupiah setiap tahunnya. Penurunan harga pokok penjualan ini akan meningkatkan resiliensi perusahaan seiring dengan penurunan kondisi bisnis pertambangan batubara yang diprediksi sekitar tahun 2030.