digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Pembangunan infrastruktur transportasi perkotaan modern, seperti Bus Rapid Transit (BRT), merupakan manifestasi dari visi keberlanjutan yang mengintegrasikan aspek lingkungan, ekonomi, dan ekuitas. Namun, dalam realitanya, tujuan-tujuan ini seringkali bersaing, di mana aspek keadilan sosial— yang kerap kurang tangible—cenderung terabaikan dalam perencanaan yang dominan berfokus pada mobilitas dan efisiensi. Kondisi ini menciptakan celah bagi munculnya dampak sosial signifikan yang, jika tidak diantisipasi dan dikelola secara proaktif, dapat memicu konflik. Kota Bandung Raya, dengan dinamika urbanisasinya yang pesat, kepadatan penduduk, dan tingginya penggunaan kendaraan pribadi yang melampaui kapasitas jalan, kini menghadapi tantangan implementasi BRT. Meskipun proyek ini bertujuan meningkatkan pelayanan transportasi publik dan mengurai kemacetan, potensi konflik sosial yang melekat pada pembangunan jalur khusus (dedicated lane) di koridor padat seperti OtistaSudirman sangat nyata. Laporan awal konsultan telah mengidentifikasi risiko sosial sebagai prioritas tinggi, namun penanganan aspek ini masih memerlukan kajian mendalam dan strategi mitigasi yang komprehensif. Penelitian ini secara fundamental bertujuan untuk memitigasi konflik sosial yang terjadi akibat pembangunan BRT Bandung Raya dengan menyediakan kerangka strategis yang efektif dan efisien. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini memiliki tiga sasaran utama: (1) memetakan konflik sosial yang terjadi serta potensi konflik di masa depan; (2) mengidentifikasi fungsi, peran, dan keterhubungan antaraktor; dan (3) menyusun strategi mitigasi konflik. Pendekatan penelitian ini bersifat kualitatif, mengandalkan wawancara mendalam dengan berbagai pemangku kepentingan kunci meliputi perwakilan pemerintah daerah (Provinsi Jawa Barat dan Kota Bandung), konsultan proyek, lembaga nonpemerintah (Non-Governmental Organizations/NGOs) dan think-tanks, akademisi, serta kelompok masyarakat terdampak langsung seperti pedagang kaki lima (PKL), juru parkir, sopir dan operator angkutan kota (angkot), serta pengguna kendaraan pribadi. Analisis data dilakukan menggunakan Kerangka Analisis dan Pengembangan Institusional (IAD Framework) dari Ostrom (1999) untuk menguraikan interaksi kompleks antaraktor di dalam action arena yang dibentuk oleh faktor-faktor eksogen (dunia fisik, komunitas, dan aturan). Metodeii Stakeholder Mapping digunakan untuk memvisualisasikan fungsi, peran, dan keterhubungan aktor, termasuk aliansi dan garis konflik. Konflik diklasifikasikan berdasarkan tipologi (laten, di permukaan, terbuka) dan jenis pengendaliannya (terkendali, sistematis), serta dinilai melalui kacamata gaya manajemen konflik (Thomas & Kilmann) dan tindakan (Fisher et al.) yang relevan. Temuan penelitian secara tajam mengungkapkan bahwa konflik sosial dalam proyek BRT Bandung Raya bukanlah friksi insidental, melainkan manifestasi sistemik dari perbedaan kepentingan fundamental dan ketidakselarasan institusional yang kronis. Sebanyak 28 isu konflik spesifik terpetakan, mayoritas merupakan konflik terbuka dan sistematis, yang berakar pada perbedaan kepentingan mendasar antara tujuan modernisasi infrastruktur dan kelangsungan mata pencarian masyarakat informal. Analisis IAD secara efektif membongkar tingkat kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap pemerintah dan kesenjangan komunikasi satu arah sebagai pemicu utama yang memperparah konflik terkait mata pencarian dan menciptakan krisis legitimasi proyek. Evaluasi outcomes menunjukkan adanya kesenjangan signifikan dalam keadilan distributif dan prosedural, di mana beban proyek ditanggung secara tidak proporsional oleh kelompok rentan, serta ketiadaan partisipasi bermakna dalam proses pengambilan keputusan. Hasil ini cenderung mengarah pada outcome campuran: infrastruktur fisik mungkin terbangun, namun dengan konflik yang berlanjut, kerugian mata pencarian masif, dan krisis kepercayaan publik yang berisiko menggagalkan tujuan strategis BRT. Penelitian ini menawarkan kebaruan dengan menerapkan secara komprehensif kerangka IAD dan tipologi konflik pada isu pembangunan infrastruktur transportasi perkotaan di konteks Indonesia yang padat, dengan fokus spesifik pada aktor informal yang sering terabaikan. Kontribusi utamanya adalah penyediaan cetak biru strategis yang multi-dimensi dan aplikatif untuk memitigasi konflik sosial. Strategi yang dirumuskan mencakup pembangunan saluran komunikasi dua arah dan partisipasi bermakna, transformasi mata pencarian yang adil (misalnya melalui skema konversi angkot dan relokasi layak), penguatan tata kelola kelembagaan melalui pembentukan BUMD khusus BRT, peningkatan kapasitas internal pemerintah, serta manajemen dampak konstruksi dan keamanan yang humanis. Rekomendasi ini mendorong pergeseran paradigma perencanaan transportasi yang lebih radikal partisipatif, transparan, dan adil, demi meminimalisasi undesired outcomes dan memastikan BRun dapat terwujud sebagai solusi mobilitas yang berkelanjutan secara holistik