Pembangunan infrastruktur transportasi perkotaan modern, seperti Bus Rapid
Transit (BRT), merupakan manifestasi dari visi keberlanjutan yang
mengintegrasikan aspek lingkungan, ekonomi, dan ekuitas. Namun, dalam
realitanya, tujuan-tujuan ini seringkali bersaing, di mana aspek keadilan sosial—
yang kerap kurang tangible—cenderung terabaikan dalam perencanaan yang
dominan berfokus pada mobilitas dan efisiensi. Kondisi ini menciptakan celah bagi
munculnya dampak sosial signifikan yang, jika tidak diantisipasi dan dikelola
secara proaktif, dapat memicu konflik. Kota Bandung Raya, dengan dinamika
urbanisasinya yang pesat, kepadatan penduduk, dan tingginya penggunaan
kendaraan pribadi yang melampaui kapasitas jalan, kini menghadapi tantangan
implementasi BRT. Meskipun proyek ini bertujuan meningkatkan pelayanan
transportasi publik dan mengurai kemacetan, potensi konflik sosial yang melekat
pada pembangunan jalur khusus (dedicated lane) di koridor padat seperti OtistaSudirman sangat nyata. Laporan awal konsultan telah mengidentifikasi risiko sosial
sebagai prioritas tinggi, namun penanganan aspek ini masih memerlukan kajian
mendalam dan strategi mitigasi yang komprehensif.
Penelitian ini secara fundamental bertujuan untuk memitigasi konflik sosial yang
terjadi akibat pembangunan BRT Bandung Raya dengan menyediakan kerangka
strategis yang efektif dan efisien. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini
memiliki tiga sasaran utama: (1) memetakan konflik sosial yang terjadi serta
potensi konflik di masa depan; (2) mengidentifikasi fungsi, peran, dan
keterhubungan antaraktor; dan (3) menyusun strategi mitigasi konflik.
Pendekatan penelitian ini bersifat kualitatif, mengandalkan wawancara mendalam
dengan berbagai pemangku kepentingan kunci meliputi perwakilan pemerintah
daerah (Provinsi Jawa Barat dan Kota Bandung), konsultan proyek, lembaga nonpemerintah (Non-Governmental Organizations/NGOs) dan think-tanks, akademisi,
serta kelompok masyarakat terdampak langsung seperti pedagang kaki lima (PKL),
juru parkir, sopir dan operator angkutan kota (angkot), serta pengguna kendaraan
pribadi. Analisis data dilakukan menggunakan Kerangka Analisis dan
Pengembangan Institusional (IAD Framework) dari Ostrom (1999) untuk
menguraikan interaksi kompleks antaraktor di dalam action arena yang dibentuk
oleh faktor-faktor eksogen (dunia fisik, komunitas, dan aturan). Metodeii
Stakeholder Mapping digunakan untuk memvisualisasikan fungsi, peran, dan
keterhubungan aktor, termasuk aliansi dan garis konflik. Konflik diklasifikasikan
berdasarkan tipologi (laten, di permukaan, terbuka) dan jenis pengendaliannya
(terkendali, sistematis), serta dinilai melalui kacamata gaya manajemen konflik
(Thomas & Kilmann) dan tindakan (Fisher et al.) yang relevan.
Temuan penelitian secara tajam mengungkapkan bahwa konflik sosial dalam
proyek BRT Bandung Raya bukanlah friksi insidental, melainkan manifestasi
sistemik dari perbedaan kepentingan fundamental dan ketidakselarasan
institusional yang kronis. Sebanyak 28 isu konflik spesifik terpetakan, mayoritas
merupakan konflik terbuka dan sistematis, yang berakar pada perbedaan
kepentingan mendasar antara tujuan modernisasi infrastruktur dan kelangsungan
mata pencarian masyarakat informal. Analisis IAD secara efektif membongkar
tingkat kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap pemerintah dan kesenjangan
komunikasi satu arah sebagai pemicu utama yang memperparah konflik terkait
mata pencarian dan menciptakan krisis legitimasi proyek. Evaluasi outcomes
menunjukkan adanya kesenjangan signifikan dalam keadilan distributif dan
prosedural, di mana beban proyek ditanggung secara tidak proporsional oleh
kelompok rentan, serta ketiadaan partisipasi bermakna dalam proses pengambilan
keputusan. Hasil ini cenderung mengarah pada outcome campuran: infrastruktur
fisik mungkin terbangun, namun dengan konflik yang berlanjut, kerugian mata
pencarian masif, dan krisis kepercayaan publik yang berisiko menggagalkan tujuan
strategis BRT.
Penelitian ini menawarkan kebaruan dengan menerapkan secara komprehensif
kerangka IAD dan tipologi konflik pada isu pembangunan infrastruktur transportasi
perkotaan di konteks Indonesia yang padat, dengan fokus spesifik pada aktor
informal yang sering terabaikan. Kontribusi utamanya adalah penyediaan cetak biru
strategis yang multi-dimensi dan aplikatif untuk memitigasi konflik sosial. Strategi
yang dirumuskan mencakup pembangunan saluran komunikasi dua arah dan
partisipasi bermakna, transformasi mata pencarian yang adil (misalnya melalui
skema konversi angkot dan relokasi layak), penguatan tata kelola kelembagaan
melalui pembentukan BUMD khusus BRT, peningkatan kapasitas internal
pemerintah, serta manajemen dampak konstruksi dan keamanan yang humanis.
Rekomendasi ini mendorong pergeseran paradigma perencanaan transportasi yang
lebih radikal partisipatif, transparan, dan adil, demi meminimalisasi undesired
outcomes dan memastikan BRun dapat terwujud sebagai solusi mobilitas yang
berkelanjutan secara holistik
Perpustakaan Digital ITB