digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum mengalami degradasi lingkungan yang signifikan akibat perubahan tata guna lahan yang masif untuk pertanian dan urbanisasi. Kondisi ini memicu erosi lahan di daerah hulu, yang menyebabkan sedimentasi tidak terkendali di daerah Majalaya. Akibatnya, kapasitas tampung Sungai Citarum terus berkurang, sehingga meningkatkan frekuensi dan intensitas banjir. Studi ini bertujuan untuk menganalisis perubahan morfologi Sungai Citarum–Majalaya dan implikasinya terhadap peningkatan risiko banjir pascanormalisasi yang dilakukan pada tahun 2020. Pemodelan numerik menggunakan perangkat lunak HEC-RAS 6.4.1 2D dilakukan dalam dua tahap: tahap validasi (Mei 2020–Januari 2022) menggunakan data batimetri, MERIT DEM, debit SWAT+, data sedimen berupa grain size dan sediment rating curve; serta tahap proyeksi (hingga tahun 2032) menggunakan debit rata-rata harian historis. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara estimasi sediment yield tahunan berbasis lahan (USLE: 210.949,76 ton/tahun; MUSLE: 218.784,54 ton/tahun) dengan metode berbasis pengukuran sungai (Batimetri: 12.688,80 ton/tahun; SRC: 27.036,90 ton/tahun). Perbedaan ini mengindikasikan bahwa sekitar 87,64% dari total erosi lahan terperangkap di hulu oleh faktor geomorfologi dan infrastruktur seperti check dam dan bendung sebelum mencapai outlet. Ditemukan pula bahwa laju sedimentasi pascanormalisasi terjadi lebih cepat (kapasitas 50% terisi dalam 7 tahun proyeksi) dibandingkan kondisi pranormalisasi (11 tahun), karena alur yang baru dikeruk berfungsi sebagai perangkap sedimen yang efisien. Selain itu, laju sedimentasi yang teramati di lapangan lebih cepat dari hasil proyeksi model akibat terjadinya kondisi 'tahun basah' (2020-2022) dengan debit puncak yang lebih tinggi dari rata-rata historis. Model sedimentasi HEC-RAS 2D berhasil divalidasi dengan akurasi sangat tinggi (selisih volume deposisi 3,2%) menggunakan kombinasi fungsi transpor "Yang" dan kecepatan jatuh "van Rijn". Dalam dua tahun pascanormalisasi, proses sedimentasi terbukti telah mengurangi kapasitas tampung sungai sebesar 23%, dengan laju rata-rata sedimentasi sebesar 1,9 cm/bulan, sehingga didapatkan ketebalan sedimen maksimum 2,84 meter dengan rata-rata 40 cm. Simulasi proyeksi 10 tahun menunjukkan bahwa manfaat normalisasi bersifat sementara. ii Terjadi peningkatan laju rata-rata sedimentasi sebesar 11 cm/tahun, sehingga didapatkan ketebalan sedimen maksimum 4,54 meter dengan rata-rata 1,42 meter, dan sisa kapasitas tampung sungai diproyeksikan hanya 46,30% pada akhir tahun 2032. Peningkatan risiko banjir terbukti signifikan; debit kala ulang 2 tahun (Q2), yang sebelumnya aman pada tahun 2020, telah menyebabkan genangan seluas 0,91 hektar pada tahun 2022. Studi ini menyimpulkan bahwa normalisasi hanya memberikan solusi jangka pendek terhadap laju sedimentasi yang masif. Oleh karena itu, direkomendasikan sebuah strategi pengelolaan berkelanjutan yang mengintegrasikan penanganan gejala di hilir dengan akar permasalahan di hulu. Ini meliputi pembangunan check dam dan sediment trap, rehabilitasi hutan dan lahan, penerapan teknik konservasi tanah dan air, serta pengerukan sungai secara terjadwal dengan siklus setiap 2–3 tahun untuk menjaga tingkat layanan pengendalian banjir secara efektif.