digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

Variation Order (VO) merupakan salah satu tantangan yang sering terjadi pada dinamika proyek konstruksi, khususnya pada proyek berskala besar yang melibatkan banyak disiplin dan pemangku kepentingan. VO umumnya muncul akibat perubahan desain, kondisi lapangan yang tidak terduga, atau kebutuhan penyesuaian teknis selama pelaksanaan proyek. Proses penanganan VO sering memerlukan waktu penyelesaian yang cukup lama, mulai dari tahap identifikasi, pengajuan proposal, evaluasi, hingga persetujuan akhir. Kondisi ini berpotensi menyebabkan keterlambatan penyelesaian proyek, pembengkakan biaya, dan terganggunya alur kerja yang telah direncanakan. Dalam konteks inilah, pemanfaatan teknologi digital seperti Building Information Modeling (BIM) menjadi relevan karena memiliki potensi besar dalam membantu proses penyelesaian VO melalui fitur kolaborasi berbasis model 3D multidisiplin, deteksi tabrakan (clash detection), serta ekosistem Common Data Environment (CDE) yang memungkinkan integrasi informasi secara terpusat. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi secara mendalam implementasi BIM Terintegrasi berbasis Common Data Environment (CDE) dalam mendukung proses penanganan VO pada proyek konstruksi di Indonesia. Studi kasus dilakukan pada sebuah proyek infrastruktur transportasi berskala besar, yaitu Proyek Transportasi X Tahap 2, yang telah menerapkan BIM-CDE sepanjang tahap pengembangan desain. Proyek ini menggunakan sistem pengadaan Design-Build (DB) dengan acuan dokumen kontrak FIDIC Yellow Book 1999. Metode penelitian yang digunakan adalah metode campuran (mixed methods) yang menggabungkan telaah dokumen proyek, penyebaran kuesioner kepada pihak terkait, serta wawancara validasi untuk memperkuat hasil analisis. Responden meliputi pemangku kepentingan utama, yaitu Pemilik Proyek dan Kontraktor DB, sehingga hasil yang diperoleh merepresentasikan pandangan dari kedua belah pihak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi BIM telah menjadi bagian integral dari proses pengembangan desain, sebagaimana tertuang dalam dokumen Employer’s Information Requirements (EIR) yang mengatur kewajiban penggunaan BIM untuk pekerjaan permanen. Seluruh proses komunikasi dan koordinasi lintas pemangku kepentingan dilakukan melalui platform CDE terpusat yang ditetapkan sebagai media resmi untuk korespondensi formal. Walaupun penerapan BIM pada ii proses VO di proyek ini tidak secara eksplisit menjadi tujuan utama, teknologi tersebut terbukti memberikan kontribusi signifikan. Manfaat yang dirasakan meliputi percepatan penyelesaian VO, peningkatan kualitas komunikasi, serta peningkatan transparansi proses VO. BIM dimanfaatkan untuk memodelkan kondisi eksisting dan kondisi pasca-perubahan, melakukan clash detection, mengintegrasikan analisis penjadwalan 4D, serta menyajikan perbandingan visual dan kuantitatif jadwal sebagai dasar pengajuan proposal VO. CDE berfungsi sebagai platform utama korespondensi formal antar pihak, yang mempercepat proses komunikasi, dokumentasi, dan evaluasi. Implementasi BIM-CDE memungkinkan penyelesaian proses VO dalam waktu 8–25 hari kalender, lebih cepat dibandingkan tenggat waktu 28 hari menurut standar kontrak FIDIC Yellow Book 1999 yang digunakan di proyek. Faktor yang sudah mendukung implementasi BIM Terintegrasi pada penanganan VO di proyek ini adalah keberadaan dokumen Employer’s Information Requirement (EIR) serta BIM Execution Plan (BEP) dalam kategori Kebijakan dan Proses Kontrak. Sementara itu, faktor yang dirasa masih menjadi hambatan utama berasal dari kurangnya kapasitas modeller dan lemahnya pengawasan manajerial dalam kategori Organisasi dan Personal. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pada Proyek Transportasi X Tahap 2, BIM Terintegrasi berpengaruh terhadap waktu penyelesaian VO tidak melebihi standar kontrak. Untuk mencapai keberhasilan implementasi BIM-CDE dalam proses penanganan VO dibutuhkan integrasi antara pendekatan top-down secara aspek Kebijakan dan Proses Kontrak melalui EIR dan BEP serta pendekatan bottom-up secara aspek Organisasi dan Personal melalui penguatan kapasitas tenaga ahli modeller, pemberian pelatihan, dukungan manajerial, dan peningkatan mindset kerja kolaboratif.