Kalimantan dan Laut Cina Selatan diduga mengalami interaksi atmosfer-laut yang
memengaruhi variabilitas curah hujan dan suhu permukaan laut di wilayah tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan curah hujan (?P) di
Kalimantan dan suhu permukaan laut (?T) di Laut Cina Selatan selama periode
Mid-Holosen (mH) dan Pra-Industri (piC) berdasarkan keluaran model iklim
Paleoclimate Modelling Intercomparison Project Phase 3 (PMIP3) dan Phase 4
(PMIP4). Hasil menunjukkan bahwa sebagian besar model, baik PMIP3-CMIP5
maupun PMIP4-CMIP6, menyimulasikan peningkatan ?P dan ?T dengan kenaikan
suhu permukaan laut tertinggi pada bulan Agustus—November (ASON) dan curah
hujan pada bulan Juli—Oktober (JASO). Suhu permukaan laut dari model-model
PMIP3 memperlihatkan nilai (mH—piC) positif mencapai +1,0 oC di beberapa
model, seperti CSIRO-Mk3-6-0 dan IPSL-CM5A-LR. Sementara itu, PMIP4
CMIP6 diperoleh suhu permukaan laut yang lebih dingin. Curah hujan tertinggi dari
selisih mH—piC di Kalimantan mencapai 3 mm/hari pada PMIP3-CMIP5
(CCSM4, MRI-CGCM3, dan HadGEM2-ES) dan 4 mm/hari pada model PMIP4
CMIP5 (ACCESS-ESM1-5, FGOALS-g3, dan MRI-ESM2-0). Hubungan antara
?P dan ?T menunjukkan pola sebanding hingga ambang batas ?T ? 0,45 °C,
setelah itu peningkatan suhu permukaan laut justru berasosiasi dengan penurunan
curah hujan. Hal ini menunjukkan adanya mekanisme sirkulasi sekunder
(secondary circulation/SC) yang dapat menekan pertumbuhan awan konveksi
penyebab curah hujan di Kalimantan. Analisis hasil simulasi antargenerasi
(PMIP4—PMIP3) menunjukkan respon model terhadap konsentrasi gas rumah
kaca CH4 pada konfigurasi PMIP4. Pengaruh CH4 terhadap curah hujan di
Kalimantan dan suhu permukaan laut di Laut Cina Selatan memunculkan variasi
keluaran model. Sebagian model menunjukkan penurunan suhu permukaan laut
disertai peningkatan curah hujan, sedangkan model lainnya mengalami penurunan
pada kedua parameter.
Perpustakaan Digital ITB