Perubahan iklim merupakan tantangan global yang menuntut solusi teknologi
inovatif untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), khususnya dari sektor
ketenagalistrikan yang masih didominasi oleh pembangkit listrik berbahan bakar
fosil seperti batubara. Indonesia sebagai negara berkembang dengan pertumbuhan
ekonomi dan kebutuhan energi yang tinggi, turut menyatakan komitmen terhadap
transisi energi rendah karbon melalui ratifikasi Paris Agreement dan penetapan
target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060. Dalam konteks tersebut,
penerapan teknologi Bioenergy with Carbon Capture and Storage (BECCS)
menjadi strategi potensial yang tidak hanya mengurangi emisi, tetapi juga mampu
mencapai emisi negatif melalui kombinasi penggunaan biomassa terbarukan dan
penangkapan karbon.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kelayakan teknis dan ekonomi
penerapan teknologi BECCS pada dua PLTU milik PLN di Sistem Kelistrikan
Sulawesi Bagian Utara (Sulbagut), yaitu PLTU Anggrek (C1) di Gorontalo dan
PLTU Amurang (C2) di Sulawesi Utara. Kajian dilakukan melalui simulasi proses
co-firing batubara dengan biomassa lokal (sekam padi dan wood chip) pada rasio
0%, 5%, 10%, 20%, dan 30%, yang kemudian dikombinasikan dengan unit
penangkapan CO? berbasis pelarut amina MDEA (Methyldiethanolamine) dan PZ
(Piperazine). Proses simulasi dan evaluasi performa teknis dilakukan menggunakan
perangkat lunak Aspen Plus untuk simulasi dekomposisi bahan bakar padat dan
Aspen HYSYS untuk pemodelan siklus uap dan penangkapan karbon.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa sistem BECCS membutuhkan tambahan daya
10–20 MW untuk pengoperasian unit penangkapan dan kompresi CO?,
menyebabkan energy penalty terhadap daya netto sebesar 20–30%. Efisiensi
penangkapan karbon mencapai hingga 90%, dengan potensi penurunan emisi CO?
hingga mendekati nol pada skenario co-firing biomassa tinggi. Namun, dari sisi
ekonomi, seluruh skenario menunjukkan nilai Levelized Cost of Electricity (LCOE)
yang sangat tinggi, yaitu berkisar antara 438–455 USD/MWh untuk PLTU Anggrek dan 369–408 USD/MWh untuk PLTU Amurang, dibandingkan dengan tarif dasar
listrik saat ini sebesar 141,47 USD/MWh (setara Rp 2.263,53/kWh dengan kurs Rp
16.000/USD). Evaluasi finansial juga menunjukkan nilai Net Present Value (NPV)
negatif, Internal Rate of Return (IRR) di bawah 5%, dan payback period yang tidak
tercapai, menandakan bahwa proyek tidak layak secara ekonomi tanpa adanya
dukungan kebijakan atau insentif.
Namun demikian, analisis sensitivitas terhadap skema harga karbon menunjukkan
bahwa penerapan carbon pricing di atas 200 USD/ton CO? mampu menurunkan
LCOE secara signifikan, bahkan dapat menyamai atau lebih rendah dari tarif dasar
pada skenario tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa implementasi BECCS dapat
menjadi layak secara ekonomi jika didukung kebijakan fiskal dan pasar karbon
yang memadai.
Penelitian ini merekomendasikan beberapa kebijakan pendukung untuk
mempercepat adopsi teknologi BECCS, antara lain: penerapan harga karbon
nasional yang agresif, penyediaan insentif investasi untuk teknologi rendah emisi,
tarif listrik khusus bagi pembangkit rendah karbon, dan peningkatan pemanfaatan
biomassa lokal yang berkelanjutan. Selain itu, pengembangan infrastruktur
penyimpanan CO? dan integrasi BECCS dengan sistem pembangkitan eksisting
perlu dipertimbangkan secara holistik. Dengan demikian, BECCS dapat berperan
sebagai pilar penting dalam strategi dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan nasional,
khususnya di wilayah timur Indonesia yang memiliki potensi biomassa dan PLTU
yang strategis
Perpustakaan Digital ITB