digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

ABSTRAK Ipung Rahmad Abriyanto
PUBLIC Open In Flipbook Ridha Pratama Rusli

Perubahan iklim merupakan tantangan global yang menuntut solusi teknologi inovatif untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), khususnya dari sektor ketenagalistrikan yang masih didominasi oleh pembangkit listrik berbahan bakar fosil seperti batubara. Indonesia sebagai negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan energi yang tinggi, turut menyatakan komitmen terhadap transisi energi rendah karbon melalui ratifikasi Paris Agreement dan penetapan target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060. Dalam konteks tersebut, penerapan teknologi Bioenergy with Carbon Capture and Storage (BECCS) menjadi strategi potensial yang tidak hanya mengurangi emisi, tetapi juga mampu mencapai emisi negatif melalui kombinasi penggunaan biomassa terbarukan dan penangkapan karbon. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kelayakan teknis dan ekonomi penerapan teknologi BECCS pada dua PLTU milik PLN di Sistem Kelistrikan Sulawesi Bagian Utara (Sulbagut), yaitu PLTU Anggrek (C1) di Gorontalo dan PLTU Amurang (C2) di Sulawesi Utara. Kajian dilakukan melalui simulasi proses co-firing batubara dengan biomassa lokal (sekam padi dan wood chip) pada rasio 0%, 5%, 10%, 20%, dan 30%, yang kemudian dikombinasikan dengan unit penangkapan CO? berbasis pelarut amina MDEA (Methyldiethanolamine) dan PZ (Piperazine). Proses simulasi dan evaluasi performa teknis dilakukan menggunakan perangkat lunak Aspen Plus untuk simulasi dekomposisi bahan bakar padat dan Aspen HYSYS untuk pemodelan siklus uap dan penangkapan karbon. Hasil simulasi menunjukkan bahwa sistem BECCS membutuhkan tambahan daya 10–20 MW untuk pengoperasian unit penangkapan dan kompresi CO?, menyebabkan energy penalty terhadap daya netto sebesar 20–30%. Efisiensi penangkapan karbon mencapai hingga 90%, dengan potensi penurunan emisi CO? hingga mendekati nol pada skenario co-firing biomassa tinggi. Namun, dari sisi ekonomi, seluruh skenario menunjukkan nilai Levelized Cost of Electricity (LCOE) yang sangat tinggi, yaitu berkisar antara 438–455 USD/MWh untuk PLTU Anggrek dan 369–408 USD/MWh untuk PLTU Amurang, dibandingkan dengan tarif dasar listrik saat ini sebesar 141,47 USD/MWh (setara Rp 2.263,53/kWh dengan kurs Rp 16.000/USD). Evaluasi finansial juga menunjukkan nilai Net Present Value (NPV) negatif, Internal Rate of Return (IRR) di bawah 5%, dan payback period yang tidak tercapai, menandakan bahwa proyek tidak layak secara ekonomi tanpa adanya dukungan kebijakan atau insentif. Namun demikian, analisis sensitivitas terhadap skema harga karbon menunjukkan bahwa penerapan carbon pricing di atas 200 USD/ton CO? mampu menurunkan LCOE secara signifikan, bahkan dapat menyamai atau lebih rendah dari tarif dasar pada skenario tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa implementasi BECCS dapat menjadi layak secara ekonomi jika didukung kebijakan fiskal dan pasar karbon yang memadai. Penelitian ini merekomendasikan beberapa kebijakan pendukung untuk mempercepat adopsi teknologi BECCS, antara lain: penerapan harga karbon nasional yang agresif, penyediaan insentif investasi untuk teknologi rendah emisi, tarif listrik khusus bagi pembangkit rendah karbon, dan peningkatan pemanfaatan biomassa lokal yang berkelanjutan. Selain itu, pengembangan infrastruktur penyimpanan CO? dan integrasi BECCS dengan sistem pembangkitan eksisting perlu dipertimbangkan secara holistik. Dengan demikian, BECCS dapat berperan sebagai pilar penting dalam strategi dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan nasional, khususnya di wilayah timur Indonesia yang memiliki potensi biomassa dan PLTU yang strategis