digilib@itb.ac.id +62 812 2508 8800

COVER Rifa Puspa Safira
PUBLIC Open In Flipbook Roosalina Vanina Viyazza

BAB 1 Rifa Puspa Safira
PUBLIC Open In Flipbook Roosalina Vanina Viyazza

BAB 2 Rifa Puspa Safira
PUBLIC Open In Flipbook Roosalina Vanina Viyazza

BAB 3 Rifa Puspa Safira
PUBLIC Open In Flipbook Roosalina Vanina Viyazza

BAB 4 Rifa Puspa Safira
PUBLIC Open In Flipbook Roosalina Vanina Viyazza

BAB 5 Rifa Puspa Safira
PUBLIC Open In Flipbook Roosalina Vanina Viyazza

PUSTAKA Rifa Puspa Safira
PUBLIC Open In Flipbook Roosalina Vanina Viyazza

Industri halal global mengalami pertumbuhan pesat, dengan nilai lebih dari USD 2.3 triliun pada tahun 2022 dan diproyeksikan mencapai USD 5 triliun pada tahun 2030. Pertumbuhan ini didorong oleh peningkatan populasi Muslim, kesadaran yang lebih tinggi akan standar halal, dan permintaan yang kuat di berbagai sektor. Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, merupakan pemain kunci, naik ke posisi ketiga dalam Global Islamic Economy Indicator (GIEI) pada tahun 2023. Meskipun konsumsi halal domestik tinggi, kontribusi Indonesia terhadap produksi dan ekspor halal global masih relatif kecil, menunjukkan potensi yang belum dimanfaatkan. Untuk mengatasi kesenjangan ini, pemerintah Indonesia memprioritaskan ekonomi halal, bertujuan menjadi Pusat Halal Global dengan mengintegrasikannya ke dalam kerangka perencanaan nasional. Salah satu inisiatif utama adalah pengembangan Kawasan Industri Halal (KIH), yang diatur untuk membentuk klaster industri bagi produksi, logistik dan sertifikasi halal. Halal Industrial Park Sidoarjo (HIPS), yang berlokasi di Jawa Timur dekat pusat transportasi utama, direncanakan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Industri Halal. Meskipun persetujuan KEK Industri Halal Sidoarjo telah diberikan pada September 2024, penetapan resmi masih menunggu terbitnya Peraturan Pemerintah. Ketidakpastian regulasi ini menunda aktivitas proyek penting seperti komersialisasi lahan, pengembangan infrastruktur, dan keterlibatan investor. Pergeseran kondisi pasar, biaya, dan jadwal juga mengharuskan perhitungan ulang anggaran modal proyek. Ketiadaan kepastian hukum menimbulkan risiko finansial yang dapat memengaruhi arus kas, jadwal konstruksi, dan kepercayaan investor. Oleh karena itu, diperlukan penilaian investasi yang diperbaharui. Penelitian ini menganalisis kelayakan finansial proyek KEK Industri Halal Sidoarjo di berbagai skenario, mengidentifikasi variabel-variabel sensitif yang memengaruhi Net Present Value (NPV), memperkirakan distribusi probabilitas NPV menggunakan simulasi Monte Carlo, mengukur manfaat insentif fiskal KEK, dan mengevauasi kelayakan tanpa status KEK dan penyesuaian pasar. Hasil studi ini bertujuan untuk memberikan wawasan tentang keberlanjutan finansial proyek dan peran penting status KEK. Studi ini menggunakan pendekatan kuantitatif, deskriptif-evaluatif, dengan analisis investasi dan analisis risiko. Data dikumpulkan dari PT Makmur Berkah Amanda (pengembang) dan konsultan, dilengkapi dengan laporan eksternal dan data keuangan dari Damodaran (2023) serta laporan keuangan Q1 2025 PT MBA. Metrik keuangan meliputi PP, DPP, NPV, IRR, dan PI, berdasarkan FCFF. Analisis risiko melibatkan analisis sensitivitas (perubahan 20% pada variabel) dan simulasi Monte Carlo (distribusi triangular). Tiga kasus diteliti: dengan insentif KEK, tanpa insentif KEK, dan tanpa insentif KEK tetapi dengan penyesuaian pasar. Analisis menunjukkan bahwa kelayakan finansial proyek KEK Industri Halal Sidoarjo sangat bergantung pada insentif KEK. Kasus 1 “Dengan Insentif KEK” menunjukkan indikator kuat: PP 5,01 tahun, DPP 6,84 tahun, IRR 17,84 (melebihi WACC 11,97%), NPV Rp 1,12 triliun, dan PI 2,26. Berdasarkan analisis sensitivitas, harga jual lahan sebagai variable paling sensitif, dengan perubahan 20% menyebabkan pergeseran NPV sebesar 74,44%. Variabel berpengaruh lainnya termasuk tingkat diskonto (34,18%), biaya akuisisi lahan (27,11%), dan biaya pengembangan infrastruktur (20,19%). Simulasi Monte Carlo menunjukkan NPV rata-rata Rp 867,63 milian dan median Rp 881,02 miliar, dengan peluang NPV negatif hanya 0,10%. Sebanyak 30,90% simulasi melebihi kasus dasar, menunjukkan potensi peningkatan yang kuat. Perbandingan antar kasus menyoroti peran penting insentif KEK. Tanpa insentif KEK, daya tarik proyek berkurang signifikan, dnegan NPV lebih rendah dan PP lebih panjang. Kasus “Tanpa Insentif KEK dan Penyesuaian Pasar” membuat proyek tidak layak secara finansial, menghasilkan NPV negatif (-Rp 332,45 miliar), IRR di bawah WACC (9,72%), dan DPP yang tidak tercapai. Manfaat dari insentif KEK diperkirakan sekitar Rp 461 miliar dalam NPV. Ini menegaskan bahwa insentif fiskal KEK, khususnya pembebasan pajak, sangat penting untuk kelayakan dan daya tarik HIPS. Penelitian ini berkontribusi pada pemahaman analisis investasi dalam KEK dan pengembangan industri halal, mengintegrasikan penilaian investasi dan risiko dengan pertimbangan regulasi.