Masyarakat adat di wilayah coral trangle pada umumnya membentuk budaya dan pengetahuan lokal terkait ekosistem yang mereka huni, terutama ekosistem pesisir, sehingga membentuk suatu konsep yang disebut Local Ecological Knowledge (LEK). LEK dapat menjadi dasar pertimbangan dalam pengelolaan wilayah konservasi yang berkelanjutan di suatu wilayah dengan sistem adat yang kuat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi LEK terkait ekosistem pesisir; mengevaluasi aktivitas pemanfaatan ekosistem pesisir, kondisi ekosistem, perekonomian masyarakat, dan kondisi sosial terhadap potensi LEK; serta merancang rekomendasi strategi terkait pengelolaan konservasi yang berkelanjutan di Pulau Saparua, Provinsi Maluku. Pengambilan data dilakukan dengan observasi lapangan, pembagian kuesioner, dan wawancara para pemangku kepentingan. Data yang dihasilkan berupa data kualitatif dan kuantitatifyang diolah dengan beberapa metode seperti content analysis, statistika dekriptif, uji korelasi Spearman, dan analytic network process (ANP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Pulau Saparua memiliki pemahaman yang cukup tinggi tentang ekosistem pesisir seperti padang lamun, terumbu karang, dan hutan bakau. Aktivitas pemanfaatan jasa ekosistem pesisir oleh masyarakat Pulau Saparua cenderung ekstraktif secara tradisional, namun terdapat pengetahuan dan aturan yang mengatur aktivitasyang dilakukan seperti konsep sasi, sa’aro, nanaku, nase, totem mataruma, dan lain-lain. Kondisi ekosistem di Pulau Saparua menurut persepsi masyarakat telah mengalami penurunan, sedangkan kondisi perekonomian dan sosial di Pulau Saparua mengalami sedikit perbaikan dibandingkan sebelumnya. Pemerintah negeri setara desa yang dipimpin oleh raja (Kepala Pemerintahan Negeri atau KPN) berperan krusial dalam pemerintahan sekaligus adat, di samping gereja (diwakili pendeta sebagai pemuka agama) menjadi pihak dengan tingkat kepercayaan masyarakat tertinggi. Keduanya dapat menjadi kunci dalam pengelolaan konservasi ekosistem pesisir. Tingkat koordinasi dan komunikasi antar pihak di Pulau Saparua masih rendah dan belum dimaksimalkan. Data menunjukkan bahwa LEK cenderung tidak berkaitan dengan aktivitas dan demografi kecuali terkait jenis kelamin dan pekerjaan. Persepsi masyarakat terkait kondisi ekonomi dan sosial dapat mempengaruhi LEK yang berlaku secara positif maupun negatif, serta persepsi masyarakat terkait kondisi ekosistem pesisir masih belum terakomodasi hanya dengan LEK yang berlaku. LEK secara umum juga tidak terkait dengan hubungan antar pemangku kepentingan, kecuali pada beberapa kasus seperti kepercayaan masyarakat terhadap usaha pemerintah dalam mengelola ekosistem pesisir. Alternatif strategi yang diutamakan untuk pengelolaan ekosistem pesisir di Pulau Saparua berdasarkan perhitungan ANP adalah “penguatan kelembagaan adat dan integrasi dengan aspek modern” dan “penguatan forum komunikasi, koordinasi, dan resolusi konflik antar pemangku kepentingan”.
Perpustakaan Digital ITB