Interaksi antara peternak lebah madu dan pengelola kawasan konservasi Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. H. Djuanda menunjukkan dinamika kompleks dalam pengelolaan sumber daya alam. Di satu sisi, praktik budidaya lebah madu menjadi sumber penghidupan dan mendukung penyediaan jasa ekosistem berupa penyerbukan; namun di sisi lain, meskipun regulasi nasional seperti Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 menyediakan skema kemitraan konservasi sebagai jalur legalitas bagi kegiatan masyarakat di kawasan konservasi, implementasi dan interpretasi di tingkat lokal terdapat kesenjangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi variabel sosial dan ekologi yang membentuk sistem budidaya lebah madu di kawasan tersebut, menganalisis interaksi antar komponennya, dan merumuskan strategi pengelolaan berkelanjutan. Studi ini menggunakan kerangka kerja Sistem Sosial-Ekologi (SES) dengan mengacu pada Ostrom dan pengembangan lanjutannya. Data dikumpulkan melalui wawancara, diskusi kelompok terfokus, kuesioner, dan observasi lapangan, serta dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem sumber daya (RS) berupa vegetasi hutan menyediakan pakan utama bagi lebah, terutama selama musim berbunga dari Februari hingga Juli. Unit sumber daya (RU) berupa koloni Apis cerana dikelola secara stasioner oleh peternak dengan skala kecil. Sebanyak 83% peternak sebagai aktor (A) dalam sistem merupakan peternak paruh waktu, dan 17% lainnya adalah peternak penuh waktu. Dari sisi kelembagaan (GS), belum ditemukan sistem pengelolaan kolaboratif yang mendukung budidaya lebah madu di kawasan konservasi, meskipun beberapa bentuk interaksi informal dengan pengelola Tahura dan Cabang Dinas Kehutanan terjadi. Produksi madu pada tahun 2024 tercatat sebesar 1.730 kg di Batu Garok, 230 kg di Bantar Awi, dan 2.050 kg di Maribaya. Interaksi sosial-ekologi (I) menunjukkan ketergantungan tinggi pada musim dan sumber daya bunga, pertukaran informasi informal, serta ketiadaan musyawarah kolektif. Kinerja sosial-ekonomi (O) menunjukkan adanya ketimpangan akses dan hasil produksi, sementara kontribusi ekologis belum dimonitor secara sistematis. Beberapa eksternalitas positif seperti jasa penyerbukan dan potensi ekowisata teridentifikasi, namun eksternalitas negatif berupa risiko kompetisi dengan spesies lain dan penularan penyakit belum mendapat perhatian. Kajian ini merekomendasikan pentingnya penguatan kelembagaan dan kebijakan lintas sektor, penyusunan strategi adaptif berbasis pengelolaan lanskap dan pengetahuan lokal, serta peningkatan kapasitas dan kolaborasi multipihak untuk mendukung keberlanjutan budidaya lebah madu di kawasan konservasi seperti Tahura Djuanda.
Perpustakaan Digital ITB